
 
Jenis Dan Bentuk Pengobatan Pada Relief Candi 
Borobudur
Pada awalnya konsep tentang penyakit selalu dihubungkan dengan segala sesuatu 
yang tidak enak. Konsep ini menganggap keadaan sakit adalah kejadian yang 
dikehendaki oleh dewa-dewa penguasa dengan maksud tertentu atau balasan dari 
roh-roh jahat. Penyakit dapat juga timbul karena akibat fisik, tetapi pada 
dasarnya selalu dihubungkan dengan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan 
akal sehat, misalnya karena kekuatan black magic. Keadaan tersebut dianggap 
tidak dapat sembuh kecuali melakukan perbuatan yang juga tidak dapat dijelaskan 
dengan akal sehat, misalnya berhubungan dengan alam supranatural atau dengan 
memanggil dewa atau roh (Graeve, 1978:586).
Pada perkembangan berikutnya, konsep tentang penyakit mulai agak berubah. 
Manusia mulai menyadari bahwa penyakit disebabkan oleh alam, di mana mereka tidak 
dapat beradaptasi dengan baik (Risse, 1978:583). Ada pendapat yang mengatakan 
bahwa pengetahuan tentang obat-obatan di Indonesia sudah ada sebelum masuknya 
pengaruh India (Satyawati Sulaiman, 1986:177). Pendapat tersebut mengatakan 
bahwa sebelum orang-orang Indonesia dapat membaca dan menulis, sudah ada seorang 
pemimpin yang didampingi seorang pendeta untuk upacara-upacara dan seorang dukun 
untuk soal magis dan obat-obatan.
Pengetahuan tentang kesehatan semakin tampak pada masa Klasik. Berdasarkan data 
relief, prasasti, dan naskah kesusasteraan pada masa klasik menunjukkan adanya 
profesi dibidang kesehatan. Dari data relief dapat diamati pada relief 
Karmawibhangga Candi Borobudur terdapat panil yang menunjukkan adegan 
pertolongan terhadap orang sakit, rasa bersyukur atas kesembuhan dari sakit, 
juga proses kelahiran yang dilakukan oleh dukun beranak.
A. Data Relief
Data artefaktual di bidang kesehatan terutama mengenai pengobatan pada masa Jawa 
Kuna terdapat pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Relief mempunyai 
maksud dan peranan penting dalam seni bangunan candi, relief sebagai media 
visual yang memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi edukatif. Fungsi 
edukatif ditunjukkan pada inti filosofi penggambaran relief yang berisikan 
tuntunan atau pendidikan moral bagi kehidupan manusia. Ungkapan unsur-unsur pada 
relief dapat memberikan petunjuk tentang perkembangan budaya, teknik, seni, 
religi, keadaan sosial masa lalu, bahkan mengenai kesehatan masyarakat Jawa 
kuna.
Pada relief Karmawibhangga panil 18 menggambarkan seorang laki-laki mendapat 
perawatan beberapa wanita, ada yang memijat kepalanya, memegang tangan dan 
kakinya. Orang-orang di sekitarnya tampak bersedih.
Pada panil 19 menunjukkan adegan beberapa orang yang sedang memberikan 
pertolongan pada seorang laki-laki yang sedang sakit. Ada yang memijat 
kepalanya, menggosok perut serta dadanya, juga ada seseorang yang membawa obat. 
Di sampingnya terdapat adegan yang memperlihatkan suasana bersyukur atas 
kesembuhan seseorang.
Pada panil 78 juga terdapat adegan yang sama yaitu seorang wanita sedang 
memegang lengan laki-laki yang sedang sakit, sementara adegan yang lain beberapa 
orang sedang mengobati dua orang laki-laki sakit kepala dengan cara memegang 
kepalanya. Pada panil 3 terdapat adegan proses kelahiran, tampak seorang wanita 
hamil sedang dibantu beberapa wanita, diantaranya seorang dukun beranak. Relief 
kelahiran juga terdapat di Candi Brahma kompleks Candi Prambanan. Proses 
kelahiran tersebut digambarkan dibantu oleh seorang wanita yang dianggap sebagai 
dukun beranak.
B. Data Prasasti
Data prasasti tidak langsung menyebut tentang masalah kesehatan, melainkan hanya 
nama-nama profesi yang dapat dihubungkan dengan kesehatan. Dari data prasasti 
yang dikeluarkan pada sekitar abad XIV – XV M, terdapat nama-nama yang 
berhubungan dengan profesi kesehatan. Prasasti tersebut yaitu prasasti Balawi, 
Sidoteka, Bendosari, Biluluk, dan Madhawapura. Uraian isi prasasti-prasasti 
tersebut yaitu :
1. Prasasti Balawi
Prasasti Balawi berangka tahun 1305 M. Kutipan dari bagian prasasti tersebut 
adalah:
V.2. …, juru gusali (pandai besi), tuha nambi (tukang obat), tuha dagang (ketua 
pedagang), pinta palaku, sakupang satak (?), pakuda (pengurus kuda),……..
3. pang (?), parajeg (?), pacicim (?), pajle (?), pa -, patelung kupang (?), 
pana -, panakupang (?), paprayaccita (penjaga kebersihan upacara), kdi (dukun 
wanita), walyan (tabib), widu mangidung (penyanyi kidung), ….
2. Prasasti Sidoteka
Prasasti Sidoteka disebut juga prasasti Jayanegara II. Prasasti tersebut 
berangka tahun 1323 M. Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah:
6.b. …, tuha dagang (ketua pedagang), tuha nambi (tukang obat), ………………………….wli 
tamba (orang yang mengobati penyakit),…………………
3. Prasasti Bendosari
Prasasti Bendosari disebut juga prasasti Manah i Manuk dan prasasti Jayasong. 
Prasasti Bendosari berangka tahun 1360 M. Kutipan dari bagian prasasti tersebut 
adalah:
5. kepada orang-orang tua dalam pertapaan di Pakandangan, sebidang sawah 16 
lirih (satuan ukuran luas tanah), kepada lingkaran perdikan di Kuku 2 lirih, 
kepada janggan (tabib desa) di …………………
4. Prasasti Biluluk
Prasasti Biluluk berasal dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350 M – 1389 
M) dan Wikramawardhana (1389 M – 1429 M). Kutipan dari bagian prasasti tersebut 
adalah:
Sisi muka :
4. “ …, selanjutnya segala penjaga tanah perdikan yang menjalankan usaha 
pekerjaan, semuanya masing-masing satu, mereka itu dibebaskan dari segala macam 
beban bea dan cukai, yaitu (yang berkaitan dengan) padadah (pemijatan), pawiwaha 
(perkawinan),
5. Prasasti Madhawapura
Prasasti Madhawapura tidak berangka tahun, akan tetapi dari gaya bahasanya dapat 
diketahui dari masa kerajaan Majapahit. Kutipan dari bagian prasasti tersebut 
adalah:
Sisi muka :
2. pembuat pakaian (abhasana) tiga dasar (ukuran), angawari (pembuat kuali) 
acaraki (penjual jamu), ….
C. Data Naskah Kesusasteraan
Data naskah kesusasteraan kutipan isinya lebih jelas menyebut tentang profesi 
kesehatan, berbagai jenis penyakit, dan obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit. 
Naskah kesusastraan periode Jawa Timur pada abad XIV – XV M terdapat kutipan 
pada bagian cerita yang menunjukkan kegiatan dibidang kesehatan yaitu kitab 
Agama, Sarasamuccaya, Rajapatigundala, Korawacrama, dan Pararaton. Uraian isi 
naskah kesusasteraan tersebut yaitu:
1. Kitab Agama
Kitab Agama disebut juga kitab Kutaramanawa. Kitab ini berasal dari masa 
pemerintahan Rajasanegara (Slamet Muljana, 1967: 10). Kutipan dari masing-masing 
pasal tersebut:
62. “Barang siapa kena perang akibat kelalaian, karena yang memerang tidak 
sengaja atau tidak tahu, jika tidak menderita luka atau sakit, yang memerang itu 
tidak dikenakan denda. Jika yang kena perang itu menderita luka, supaya yang 
memerang membayar uang pembeli obat cukup sampai lukanya sembuh, dan dikenakan 
denda lima ratus oleh raja yang berkuasa”.
113. “Seorang gadis berhak membatalkan perkawinannya, setelah di tempat tidur 
mengetahui bahwa lakinya menderita penyakit (yang mengurungkan perkawinan) 
misalnya sakit kuming, impoten untuk persetubuhan, bukan laki-laki (banci), 
mempunyai penyakit budug pada perut, pada paha, pada pantat, tidak kelihatan 
dari luar; menderita sakit ayan atau gila. Dalam hal yang demikian itu gadis 
tersebut berhak untuk membatalkan perkawinannya. Ia wajib mengembalikan tukon 
tanpa lipat dua”.
190. “Jika ada orang menebang pohon, menjatuhi orang atau melempar tidak dengan 
sengaja kena orang atau binatang, kemudian mengatakan bahwa itu adalah kesalahan 
orang yang kena lemparan atau tertimpa pohon, …, jika orang yang kena lemparan 
atau tertimpa pohon itu menderita luka supaya penebang itu memberi uang pembeli 
obat hingga pulih kembali lukanya kepada si penderita, dan dikenakan denda lima 
tali oleh raja yang berkuasa sebagai penebus tangannya. Jika orang yang tertimpa 
pohon itu meninggal, supaya penebang itu memberikan uang pakuramas…”
274. “Jika ada orang yang mengobati tanpa memiliki pengetahuan tentang 
obat-obatan, tanpa mengetahui mantra yang banyak, tanpa mengetahui soal 
penyakit, hanya karena menghendaki hadiah dari orang yang sakit, orang yang 
demikian supaya diperlakukan sama dengan pencuri. Pengobatan yang demikian tidak 
akan berhasil. Jika dia mengobati binatang, dan akhirnya binatang itu mati, 
supaya dikenakan denda empat kali tiga atak. Jika mengobati orang, karenanya 
tidak menjadi sembuh kemudian malah mati, dendanya selaksa, jika mengobati 
brahmana, karenanya tidak sembuh malah mati, yang mengobati dikenakan pidana 
mati oleh raja yang berkuasa. Demikianlah ketetapan undang-undang”.
2. Kitab Sarasamuccaya
Kitab Sarasamuccaya adalah salah satu kitab hukum pada masa Majapahit. Di dalam 
kitab ini terdapat keterangan yang berhubungan dengan masalah kesehatan, Kutipan 
dari bagian tersebut yaitu:
168. “ Demikian perincian yang dinamakan temannya, yaitu, seorang pedagang, 
temannya adalah pedagang (pembeli), (dan) juragan, sahabat bagi seorang 
pengembara, perpisahan (dan) berjauhan, sahabat bagi orang berumah tangga 
istrinya itulah, sedangkan orang yang sakit, walyan (tabib), mamimami (pembuat 
obat-obatan), sahabatnya, apa pun orang yang mampir akan mati, sedekah (amal 
kebajikan) sebagai temannya”.
234. “ …, bhrunaha (menggugurkan kandungan), singkatnya sangat besar dosa orang 
itu”.
325. “ Inilah macamnya orang yang tidak pantas dijadikan kawan bergaul, yaitu 
pisakit (orang yang menyebabkan orang lain sakit atau menderita, misalnya dengan 
melakukan guna-guna), …”.
369. “ Tidak ada obat, tidak ada mantra, tidak ada persembahan, tidak ada japa, 
yang mampu menolong, membebaskan seseorang dari kematian itu, atau dapat 
menangkis maut itu, sia-sialah ucapan mantra yang berulang-ulang yang disebut 
japa itu”.
501. “ …, sebaliknya obat yang berempah-rempah, minyak, gulika, akar, 
dipergunakan mengobati sakitnya badan, lenyap karenanya, kekuatan ilmu melebihi 
kekuatan badan, kesaktian tubuh”.
3. Kitab Rajapatigundala
Kitab Rajapatigundala merupakan salah satu kitab dari masa Majapahit. Pada 
bagian sapatha disebut nama-nama penyakit yang akan menimpa orang yang tidak 
mematuhi hukum yang telah ditetapkan. Kutipan dari bagian tersebut adalah:
17.a. “ …, untuk orang yang tidak mematuhi, dia akan mendapat kesengsaraan, …, 
hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat 
melihat dengan sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua 
orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh raja Patigundala yang suci,
b. maka terjadilah, semua kesengsaraan, sakit dan penyakit akan diderita oleh 
orang yang tidak mematuhi, tidak ada kemungkinan untuk diobati, untuk 
selama-lamanya mereka akan menderita. Ini adalah kutukan cri bhagati yang patut 
dihormati, seorang ratu pada masanya, untuk seluruh pulau Jawa, …”.
4. Kitab Korawacrama
Kitab Korawacrama diperkirakan berasal dari abad XIV M. Kutipan dari bagian 
tersebut adalah:
23. “ …, terkejutlah Bhattara guru ketika melihat manusia, ternyata banyak yang 
menderita sakit, ada wudug (lepra), ana buyan (gila), ana wiket (mempunyai 
banyak luka), pincang welu (hernia), beser (selalu ingin buang air), turuh 
(kerusakan pada salah satu organ tubuh), apus (kehilangan tenaga), wuta (buta), 
tuli (tuli), bisu (bisu), barah (lepra yang sudah parah), uleren (cacingan), 
umis (pendarahan), lampang (sejenis penyakit kulit), bule (albino), gondong 
(leher membengkak), amis antem (berbau amis), masegir (berbau tidak enak), apek 
(berbau apek), demikian keadaan manusia, …”.
30. “ …, berlarilah Bhattara Cri dengan Bhattara Wisnu masuk ke dalam rumah 
acaraki (penjual jamu), pucat pasilah mukanya, dia sedang menggiling bahan untuk 
wangi-wangian, …, pucatlah sang macaraki, …”.
5. Kitab Pararaton
Kitab Pararaton berbentuk prosa dan digubah pada akhir abad XV M. Kutipan dari 
bagian tersebut adalah:
27. “ … Ketika itu raja Jayanegara sedang gering tidak keluar dari istana karena 
di badannya tumbuh bisul (bubuhen). Tanca diperintahkan untuk mengoperasi bisul 
tersebut di peraduan. Dua kali dibedah tetapi tidak berhasil. Akhirnya Tanca 
memohon agar sang raja segera menanggalkan kemitannya. Raja pun menurut dan 
melepasnya, kemudian diletakkan di atas peraduan. Tanca lalu membedah bisul 
tersebut lalu diambil penyakitnya, …”.
D. Jenis-Jenis Penyakit dan Pengobatannya
Pada masa Klasik sistem kesehatan pada umumnya terdiri dari suatu sistem teori 
penyakit dan sistem perawatan kesehatan. Sistem teori penyakit meliputi 
kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit, pengobatan, dan teknik 
penyembuhan. Dalam teori penyakit terdapat konsep dasar yang dapat dibedakan 
menjadi dua yaitu teori personalistik dan teori naturalistik. Teori 
personalistik didasari anggapan adanya kekuatan supranatural, sedangkan teori 
naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, apabila keseimbangan 
terganggu maka akan timbul penyakit (George M. Foster dan Barbara Gallatin, 
1986: 46-47).
Pada teori personalistik, secara umum jenis-jenis penyakit yang dikenal pada 
masyarakat Jawa Kuna pada abad XIV – XV M disebabkan oleh kuasa dewa-dewa dan 
kuasa makhluk jahat. Penyakit yang disebabkan oleh kuasa dewa-dewa seperti dalam 
prasasti Surodakan, beberapa jenis penyakit disebutkan pada bagian sapatha atau 
kutukan. Penyakit-penyakit tersebut akan diderita oleh orang yang melanggar 
aturan. Penyakit akibat kutukan dikatakan tidak akan dapat diobati dan untuk 
selamanya akan menderita.
Pada teori naturalistik, sebab-sebab sakit berhubungan dengan keadaan sehat. 
Penyakit disebabkan karena tidak adanya keseimbangan cairan dalam tubuh manusia. 
Selain karena tidak adanya keseimbangan cairan, penyakit dapat disebabkan pula 
karena adanya gangguan atau kerusakan bagian tubuh tertentu sehingga tidak dapat 
berfungsi sebagaimana mestinya. Termasuk dalam jenis penyakit ini adalah awatuk 
(batuk), bhara gigil (panas dingin), karis (sakit kepala), bubuhen (bisulan), 
umis (pendarahan), uleren (cacingan), dan slema (batuk berlendir).
Penyakit-penyakit tersebut di atas karena disebabkan oleh ketidakseimbangan 
dalam tubuh manusia, maka pengobatannya bertujuan untuk mengembalikan 
keseimbangan tubuh. Selain menggunakan ramuan obat, pengobatan penyakit 
naturalistik juga mempercayai adanya kekuatan di luar kemampuan manusia yang 
dapat membantu proses penyembuhan. Hal tersebut terlihat dengan digunakannya 
mantera-mantera yang dianggap mempunyai kekuatan qaib.
Pada relief Karmawibhangga tampak adegan seorang laki-laki sedang mendapat 
perawatan beberapa wanita dengan dipijat kepalanya (mungkin oleh padadah orang 
yang pekerjaannya memijat). Adegan yang lainnya beberapa orang sedang memberikan 
pertolongan pada seorang laki-laki yang sedang sakit dengan memijat kepalanya 
(padadah), menggosok perut serta dadanya dengan ramuan obat. Dapat dikatakan 
adegan tersebut adalah proses penyembuhan dengan ramuan obat karena tampak pula 
seseorang yang sedang membawa obat atau mungkin wli tamba orang yang 
pekerjaannya membuat obat. Dengan demikian proses pembuatan obat pun pastinya 
dengan menggunakan batu pipisan untuk menghaluskan ramuan obat tersebut. Alat 
semacam pipisan terdapat pada panil 19, seseorang tampak duduk di depannya 
terlihat benda dengan bentuk seperti pipisan. Kemungkinan orang tersebut sedang 
membuat ramuan jamu dengan cara dihaluskan dengan alat batu pipisan.
Tidak kalah menarik pada relief Karmawibhangga terdapat adegan proses kelahiran. 
Pada relief tersebut tampak seorang wanita hamil sedang dibantu beberapa wanita, 
diantaranya seorang dukun beranak (kdi). Penggambaran proses kelahiran tersebut 
oleh beberapa ahli diartikan pula sebagai proses aborsi karena merupakan hasil 
prostitusi. Apabila dicermati, relief Karmawibhangga yang menggambarkan 
kehidupan manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi, maka di sana semua 
aspek kehidupan manusia baik yang bagus maupun yang buruk tercerminkan di relief 
ini. Proses aborsi atau menggugurkan kandungan semakin terlihat pada masa 
Majapahit, terbukti dari isi kitab Sarasamuccaya, terdapat kata bhrunaha 
(menggugurkan kandungan) merupakan dosa yang sangat besar bagi orang yang tega 
melakukannya.
E. Bentuk-Bentuk Pengobatan
Dari adanya jenis-jenis penyakit yang ada tentunya memerlukan penyembuhan atau 
pengobatan agar penyakit tersebut hilang. Proses penyembuhan dapat dibedakan 
menjadi empat cara yaitu cara magis, keagamaan, fisik, dan obat-obatan. 
Pengobatan dengan cara magis dilaksanakan dengan menggunakan mantera-mantera, 
cara keagamaan dengan mengadakan upacara ritual, cara fisik dengan memijat atau 
mengurut, dan cara obat-obatan dengan menggunakan khasiat bahan-bahan alami 
seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Pengobatan dengan cara magis dan ritual 
keagamaan biasanya dilakukan untuk jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh 
perantara atau kuasa supranatural, sedangkan pengobatan dengan cara fisik dan 
obat-obatan dilakukan untuk jenis-jenis penyakit karena ketidakseimbangan dalam 
tubuh manusia.
Pengobatan secara magis caranya dengan membaca mantera-mantera yang dianggap 
mempunyai kekuatan qaib. Pembacaan mantera-mantera ini ditujukan kepada kekuatan 
dewa-dewa atau kekuatan lainnya yang menguasai dunia. Pengobatan secara 
keagamaan biasanya dalam bentuk upacara ritual dengan melarung sesajian di laut 
diikuti dengan doa-doa agar penyakit yang diderita seseorang sembuh dengan 
memberikan sesajian di laut. Pengobatan secara fisik dengan melakukan pemijatan 
atau pengurutan yang dilakukan oleh padadah. Sebagai seorang penyembuh, padadah 
menggunakan sarana pemijatan. Pengobatan dengan bentuk pijat biasanya 
menggunakan ramuan yang dilumatkan kemudian dioleskan pada anggota badan yang 
salah uratnya. Dalam melakukan pemijatan tersebut menggunakan minyak atau ramuan 
lainnya untuk memudahkan proses pemijatan. Pengobatan dengan cara obat-obatan 
dilakukan dengan memberikan obat-obatan yang dibuat dari bahan alami terutama 
tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat tertentu untuk mengembalikan 
keseimbangan dalam tubuh.
F. Profesi di Bidang Kesehatan
Sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi 
antara sejumlah orang, paling tidak antara pasien dan penyembuh. Pada dasarnya 
profesi yang bekerja untuk menyembuhkan masalah-masalah kesehatan dapat 
diklasifikasikan menjadi tabib, ahli ramuan, dukun bayi, dan tukang pijat. Dari 
data arkeologi yang ada, terdapat banyak profesi yang berhubungan dengan proses 
penyembuhan dalam masyarakat Jawa kuna. Profesi kesehatan tersebut adalah 
walyan, kdi, tuha nambi, wli tamba, janggan, padadah, mamimami, dan acaraki. 
Dilihat dari arti masing-masing profesi tersebut, maka profesi kesehatan dapat 
dikelompokkan menurut fungsinya yaitu perawat kesehatan (tabib atau dokter) dan 
pembuat obat. Termasuk dalam kelompok perawat kesehatan yaitu janggan, kdi, 
padadah, dan walyan, sedangkan kelompok pembuat obat yaitu acaraki, mamimami, 
tuha nambi, dan wli tamba.
Arti profesi kesehatan pada masyarakat Jawa Kuna adalah walyan artinya tabib 
atau dokter yang menggunakan kuasa qaib atau sihir (arti lainnya orang yang 
menguasai pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan sebagai obat ), kdi artinya dukun 
wanita, yang membantu proses kelahiran seorang bayi, tuha nambi artinya tukang 
obat atau orang yang tugasnya membuat ramuan obat-obatan, wli tamba artinya 
orang yang pekerjaannya membuat ramuan obat-obatan, janggan artinya orang yang 
menguasai pengetahuan tentang penggunaan tumbuhan (arti lainnya adalah tabib 
desa atau dokter desa), padadah artinya orang yang pekerjaannya memijat untuk 
memulihkan kesehatan, mamimami artinya tukang pembuat obat, acaraki artinya 
orang yang menciptakan ramuan obat-obatan (arti lainnya penjual obat atau jamu).
DAFTAR PUSTAKA
G. Pudja. 1983. Manawa Dharma Sastraa: Weda Smrti Compendium Hukum Hindu. 
Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Departemen Agama Republik Indonesia.
Graeve, Frank de. 1978. “Religion Concepts”, Encyclopedia of Bioethics.
I.G.A.G. Putra dan I Wayan Sadia, Wrhaspati-tattwa. Jakarta: Yayasan Dharma 
Sarathi.
Nico S. Kalangie. 1981/1982. “Peranan dan Sumbangan Antropologi dalam Bidang 
Pelayanan Kesehatan: Suatu kerangka Masalah-Masalah Penelitian, Analisis 
Kebudayaan, Th. II. No. 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pungkie Lelly Kumarasari. 1991. Sistem Kesehatan Dalam Masyarakat Jawa Kuna Pada 
Abad XIV Sampai XV Masehi: Kajian Berdasarkan Data Tertulis. Yogyakarta: 
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Risse, Guenter B. 1978. “History of the Concepts”, Encyclopedia of Bioethics.
Satyawati Sulaiman. 1986. “Local Genius Pada Masa Klasik”, Kepribadian 
Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Slamet Muljana. 1967. Perundang-undangan Madjapahit. Jakarta: Bhratara.
Tyler, Varro E. 1981. Farmakognosi, terj. Philadelphia: Lea and Febiger.
PENULIS : Wiwit Kasiyati, SS dkk
Daftar Jamu Godog Kendhil Kencana >>>