Jamu dalam Lingkaran Perjalanan
Menurut ahli bahasa Jawa Kuno, istilah “jamu” berasal dari singkatan dua kata bahasa Jawa Kuno yaitu “Djampi” dan “Oesodo”. Djampi berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian sedangkan Oesodo berarti kesehatan. Pada abad pertengahan (15-16 M), istilah oesodo jarang digunakan. Sebaliknya istilah jampi semakin popular diantara kalangan keraton. Kemudian sebutan “jamu” mulai diperkenalkan kepada publik oleh “dukun” atau tabib pengobat tradisional. Bukti bahwa jamu sudah ada sejak jaman dulu dan sering dimanfaatkan adalah dengan adanya relief Candi Borobudur pada masa Kerajaan Hindu-Budha tahun 722 M, di mana relief tersebut menggambarkan kebiasaan meracik dan minum jamu untuk memelihara kesehatan. Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura dari peninggalan Kerajaan Hindu-Majapahit yaitu adanya profesi “tukang meracik jamu” yang disebut Acaraki.
Secara historis kitab yang berisi tentang tata cara pengobatan dan jenis-jenis obat tradisional yang ada di Indonesia diantaranya pada tahun 991-1016 M, perumusan obat dan ekstraksi dari tanaman ditulis pada daun kelapa atau lontar, misalnya seperti Lontar Usada di Bali, dan Lontar Pabbura di Sulawesi Selatan. Beberapa dokumen tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia, pengetahuan mengenai formulasi obat dari bahan alami juga telah dibukukan, misalnya Bab kawruh jampi Jawi oleh keraton Surakarta yang dipublikasikan pada tahun 1858 dan terdiri dari 1734 formulasi herbal.
Terdapat Serat primbon jampi jawi karya Sri Sultan Hamengku Buwono II, Raja Mataram yang memerintah pada tahun 1792 – 1828. Para leluhur zaman itu sudah memperhatikan kesehatan tubuh dan juga kecantikan dengan adanya ribuan resep yang tertulis dalam kitab tersebut yang merupakan ramuan untuk kecantikan kaum wanita. Kitab Primbon Jampi Jawi tersebut terbilang referensi tertulis tentang jamu-jamu kecantikan tertua yang berasal dari Kerajaan Mataram (Ngayogyakarto Hadiningrat). Menurut Adjikoesoemo, cucu BRAY. Poedjokoesoemo, istri adik Sri Sultan HB IX, buku ini diperkirakan ditulis Sri Sulran HB II saat berada dalam masa pembuangan pada zaman kolonial Belanda.
Selain itu juga terdapat dalam manuskrip koleksi Pura Pakualaman dan Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna. Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman memuat dua naskah tentang jamu yakni naskah Primbon (Pr.10) dan naskah Buku Jampi (Ll.5). Kemudian, di dalam Kitab PrimbonLukmanakim Adammakna dijumpai berjenis resep jamu yang dibagi ke dalam empat kategori 1) primbon jalu usada (aneka jamu sehat lelaki), 2) primbon wanita usada (kumpulan jamu sehat perempuan), 3) primbontriguna usada (jejamu untuk berbagai kebutuhan), dan 4) primbon rarya usada (jamu-jamu khusus untuk anak-anak). Disebutkan pula berbagai sinonim jamu seperti tamba, sarana, srana, jamu srana atau banyu omben-omben.
Sedangkan dalam Serat Centhini yang tersimpan di perpustakaan Keraton Surakarta merupakan penjelasan terbaik tentang pengobatan penyakit di jaman Jawa kuno, di mana selalu digunakan obat-obatan yang berasal dari alam dan kebanyakan di antaranya mudah diberikan. Buku yang dibuat oleh salah seorang putera Kanjeng Sinuhun Sunan Pakubuwono IV yang pada saat itu memerintah kerajaan Surakarta di periode 1788 – 1820 Masehi. Putera sang raja ini memerintahkan 3 bawahannya untuk mengumpulkan semua informasi ilmu pengetahuan tentang budaya Jawa yang berkaitan dengan aspek spiritual, bahan-bahan, ilmiah dan keagamaan. Hasilnya berupa laporan sebanyak 12 jilid dengan 725 stanza. Selain serat Centhini, ada juga Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi. Ini merupakan satu di antara dua catatan yang tersimpan di perpustakaan Keraton Surakarta. Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi bisa jadi merupakan informasi yang paling sistimatis tentang jamu. Di kitab ini tercatat 1.734 resep jamu yang terbuat dari herba alami berikut rekomendasi penggunaan dan dosisnya.
Perkembangan industri jamu di Indonesia sendiri baru mulai tumbuh pada sekitar tahun 1900-an dimana pabrik-pabrik jamu besar mulai berdiri di Indonesia seperti Jamu Jago, Mustika Ratu, Nyonya Meneer, Leo, Sido Muncul, Jamu Simona, Jamu Borobudur, Jamu Dami, Jamu Air Mancur, Jamu Pusaka Ambon, Jamu Bukit Mentjos, dan tenaga Tani Farma (Aceh).
Itulah, sedikit tentang sejarah jamu yang dirangkum dari berbagai sumber untuk menambah pengetahuan dan dapat di tampilkan disini. Semoga khasanah ini menjadikan semangat bagi kita semua untuk mencintai produk warisan leluhur yang adiluhung ini untuk di manfaatkan bagi kesejahteraan bersama. (yd)
https://merapifarmaherbal.wordpress.com/2015/03/18/jamu-dalam-lingkaran-perjalanan/
Daftar Jamu Godog Kendhil Kencana >>>
Menurut ahli bahasa Jawa Kuno, istilah “jamu” berasal dari singkatan dua kata bahasa Jawa Kuno yaitu “Djampi” dan “Oesodo”. Djampi berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian sedangkan Oesodo berarti kesehatan. Pada abad pertengahan (15-16 M), istilah oesodo jarang digunakan. Sebaliknya istilah jampi semakin popular diantara kalangan keraton. Kemudian sebutan “jamu” mulai diperkenalkan kepada publik oleh “dukun” atau tabib pengobat tradisional. Bukti bahwa jamu sudah ada sejak jaman dulu dan sering dimanfaatkan adalah dengan adanya relief Candi Borobudur pada masa Kerajaan Hindu-Budha tahun 722 M, di mana relief tersebut menggambarkan kebiasaan meracik dan minum jamu untuk memelihara kesehatan. Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura dari peninggalan Kerajaan Hindu-Majapahit yaitu adanya profesi “tukang meracik jamu” yang disebut Acaraki.
Secara historis kitab yang berisi tentang tata cara pengobatan dan jenis-jenis obat tradisional yang ada di Indonesia diantaranya pada tahun 991-1016 M, perumusan obat dan ekstraksi dari tanaman ditulis pada daun kelapa atau lontar, misalnya seperti Lontar Usada di Bali, dan Lontar Pabbura di Sulawesi Selatan. Beberapa dokumen tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia, pengetahuan mengenai formulasi obat dari bahan alami juga telah dibukukan, misalnya Bab kawruh jampi Jawi oleh keraton Surakarta yang dipublikasikan pada tahun 1858 dan terdiri dari 1734 formulasi herbal.
Terdapat Serat primbon jampi jawi karya Sri Sultan Hamengku Buwono II, Raja Mataram yang memerintah pada tahun 1792 – 1828. Para leluhur zaman itu sudah memperhatikan kesehatan tubuh dan juga kecantikan dengan adanya ribuan resep yang tertulis dalam kitab tersebut yang merupakan ramuan untuk kecantikan kaum wanita. Kitab Primbon Jampi Jawi tersebut terbilang referensi tertulis tentang jamu-jamu kecantikan tertua yang berasal dari Kerajaan Mataram (Ngayogyakarto Hadiningrat). Menurut Adjikoesoemo, cucu BRAY. Poedjokoesoemo, istri adik Sri Sultan HB IX, buku ini diperkirakan ditulis Sri Sulran HB II saat berada dalam masa pembuangan pada zaman kolonial Belanda.
Selain itu juga terdapat dalam manuskrip koleksi Pura Pakualaman dan Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna. Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman memuat dua naskah tentang jamu yakni naskah Primbon (Pr.10) dan naskah Buku Jampi (Ll.5). Kemudian, di dalam Kitab PrimbonLukmanakim Adammakna dijumpai berjenis resep jamu yang dibagi ke dalam empat kategori 1) primbon jalu usada (aneka jamu sehat lelaki), 2) primbon wanita usada (kumpulan jamu sehat perempuan), 3) primbontriguna usada (jejamu untuk berbagai kebutuhan), dan 4) primbon rarya usada (jamu-jamu khusus untuk anak-anak). Disebutkan pula berbagai sinonim jamu seperti tamba, sarana, srana, jamu srana atau banyu omben-omben.
Sedangkan dalam Serat Centhini yang tersimpan di perpustakaan Keraton Surakarta merupakan penjelasan terbaik tentang pengobatan penyakit di jaman Jawa kuno, di mana selalu digunakan obat-obatan yang berasal dari alam dan kebanyakan di antaranya mudah diberikan. Buku yang dibuat oleh salah seorang putera Kanjeng Sinuhun Sunan Pakubuwono IV yang pada saat itu memerintah kerajaan Surakarta di periode 1788 – 1820 Masehi. Putera sang raja ini memerintahkan 3 bawahannya untuk mengumpulkan semua informasi ilmu pengetahuan tentang budaya Jawa yang berkaitan dengan aspek spiritual, bahan-bahan, ilmiah dan keagamaan. Hasilnya berupa laporan sebanyak 12 jilid dengan 725 stanza. Selain serat Centhini, ada juga Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi. Ini merupakan satu di antara dua catatan yang tersimpan di perpustakaan Keraton Surakarta. Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi bisa jadi merupakan informasi yang paling sistimatis tentang jamu. Di kitab ini tercatat 1.734 resep jamu yang terbuat dari herba alami berikut rekomendasi penggunaan dan dosisnya.
Perkembangan industri jamu di Indonesia sendiri baru mulai tumbuh pada sekitar tahun 1900-an dimana pabrik-pabrik jamu besar mulai berdiri di Indonesia seperti Jamu Jago, Mustika Ratu, Nyonya Meneer, Leo, Sido Muncul, Jamu Simona, Jamu Borobudur, Jamu Dami, Jamu Air Mancur, Jamu Pusaka Ambon, Jamu Bukit Mentjos, dan tenaga Tani Farma (Aceh).
Itulah, sedikit tentang sejarah jamu yang dirangkum dari berbagai sumber untuk menambah pengetahuan dan dapat di tampilkan disini. Semoga khasanah ini menjadikan semangat bagi kita semua untuk mencintai produk warisan leluhur yang adiluhung ini untuk di manfaatkan bagi kesejahteraan bersama. (yd)
https://merapifarmaherbal.wordpress.com/2015/03/18/jamu-dalam-lingkaran-perjalanan/
Daftar Jamu Godog Kendhil Kencana >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar