PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI Ida Ayu Nyoman Rai (1881 - 12 September 1958) (Ibunda Ir. Soekarno, Presiden RI Pertama) Mengangkat Harkat Jamu    KBR68H -   Anda peminum jamu? Saat ini Kementerian Kesehatan tengah melakukan uji   ilmiah atau saintifikasi jamu. Supaya kelak jamu bisa diresepkan sebagai   obat oleh tenaga medis kepada pasien di puskesmas dan rumah sakit. Selama   ini, jamu memang masih kalah pamor dengan obat modern, dianggap nomor dua.   Bagaimana masyarakat kini memandang jamu? Sejauh mana upaya menjadikan jamu   tuan rumah di negeri sendiri? Reporter   KBR68H Mellie Cynthia menemui   mereka yang masih bergelut di peracikan jamu.     Peracik Ramuan   “Ini dari jahe merah, campur sereh, pewangi, daun jeruk daun pandan,   rempah-rempah ada kapulaga, cengkeh, lada hitam, kayu masyoyi, untuk pegel   linu, vertigo.”   Siti Aminah, 60 tahun, memperlihatkan cara membuat bir plethok, minuman khas   Betawi. Bahannya diambil dari kebun kecil depan rumahnya, di Gang Siput,   Cempaka Baru, Jakarta Pusat. Di kebun ini ada 30-40 jenis tanaman. Siti   dikenal sering meracik berbagai macam jamu untuk mengobati aneka penyakit.   Mulai dari rematik dan mata katarak, hingga kanker dan jantung.   Di sudut ruang tamu rumah Siti, terlihat toples-toples berisi kapsul jamu   dan bubuk ramuan jamu hasil racikannya. Jamu itu sudah dipesan orang. Ada   sebagian lain yang akan dibagikan ke keluarga, tetangga dan teman. Sejak   dulu keluarga Siti percaya khasiat jamu. “Waktu itu anak angkat kakak saya   kena tipus. Kata dokter, besok langsung ke rumah sakit! Sebelum ke sana,   sorenya dikasih ramuan. Ternyata panasnya langsung turun. Pas periksa   laboratorium, gak tampak tipusnya sama sekali.”   Khasiat Jamu   Tetangga Siti, Sumariah sudah merasakan khasiat jamu racikan buatan Siti. Penderita   rematik kronis ini tadinya tidak bisa menggerakkan sebagian tangan dan   kakinya. Berat badan merosot 30 kilogram. Tapi, itu dulu sebelum minum jamu.   Sekarang, kondisi Sumariah sudah membaik. Wajahnya tak lagi pucat, berat   badan pun naik 8 kilogram.   Tetangga Siti lainnya, Anah, berhenti berobat ke dokter berkat jamu racikan   Siti. Ia tak lagi merasakan keluhan maag dan kram perut. “Mendingan. Nggak   sering kram, buang air lancar, pusing juga hilang. Baru setahun ini pakai   jamu. Dulu pernah ke dokter. Keseringan minum obat juga nggak bagus, sering   sakit pinggang.”   Menurut Siti, meski jamu dan obat medis sering dipandang berseberangan,   sebagian dokter membolehkan pasiennya mengonsumsi jamu. “Saya sampai 10   bulan nggak kontrol kolesterol tinggi. Tapi dokter tanya, kok kondisinya   bagus, pakai apa?”   Belum Teruji Klinis Jamu sebagai ramuan tradisional memang belum teruji klinis. Artinya, belum   ada penelitian yang dilakukan kepada manusia untuk memastikan keamanannya   mengobati penyakit. Khasiat jamu hanya dirasakan berdasarkan pengalaman   turun temurun. Meski begitu, kata peracik jamu sekaligus ahli terapi   pengobatan alternatif, Retno Widati, jamu dan obat modern tidak semestinya   dipertentangkan. “Saya tidak apriori terhadap obat. Tapi obat juga jangan apriori terhadap   jamu. Semua punya pasar dan penggemar masing-masing,” katanya. Kata Retno,   meski tak mengantongi bukti ilmiah, jamu warisan nenek moyang sudah punya   bukti empiris kuat. Saat ditemui di ruang praktiknya di bilangan Kayu Manis, Jakarta Timur,   Retno tengah menumbuk rempah dan kulit pohon dengan alu di atas batu segi   empat. Semerbak wangi rempah seketika memenuhi ruangan. Retno juga sengaja   meracik jamu dengan alat-alat tradisional, sebagai upaya menjaga warisan   budaya. Ini   juga menjadi protes Retno terhadap anak muda zaman sekarang. “Mereka lebih   suka yang instan, cukup dicampur air putih, lalu glek! Bila   perlu dalam gelas kemasan, lalu diminum.”   Dokter Jamu Terlepas dari khasiatnya, masih ada dokter yang memandang remeh jamu bagi   pengobatan. Pasien yang tengah menunggu dokter di RSCM mengaku pernah diejek   dokter karena meminum ramuan tradisional. “Tergantung dokternya, ada yang   kurang positif menanggapi. Saya pernah bilang, saya minum kumis kucing.   Dokter bilang, pakai kumis gajah saja, hahaha...” kata Sadikin seraya   tergelak. Data Kementerian Kesehatan 2010 melansir, baru sekitar 200 dokter di 6   Provinsi di Pulau Jawa dan Bali yang menggunakan jamu untuk mengobati   pasien. Selain itu, baru 2 rumah sakit, yaitu Rumah Sakit Sardjito di   Semarang dan Dr. Soetomo di Surabaya, yang dokternya telah memberikan obat   tradisional kepada pasien. Kata Sekretaris Bidang Kajian Pengobatan   Tradisional Ikatan Dokter Indonesia, Aldrin Neilwan, banyak dokter   meremehkan khasiat jamu karena belum ada bukti ilmiah tentang kandungan jamu   untuk mengobati penyakit. “Pendidikan   dokter kita itu dasarnya kedokteran Barat, yang mengedepankan evidence-based   medicine.”   Untuk mencetak lebih banyak dokter peduli terhadap jamu, Kementerian   Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukan program saintifikasi   jamu. Sepanjang 2010, Kemenkes berjibaku menyiapkan 4 ramuan jamu yang telah   terbukti dapat mengobati penyakit. Jamu yang diolah dari 11 jenis tanaman   obat itu adalah jamu anti peradangan, anti darah tinggi, anti asam urat dan   anti kolesterol.   Tahun ini, ramuan itu akan disebarkan ke dokter, untuk diberikan kepada   pasien. Staf Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan   Kementerian Kesehatan, Lucie Widowati mengatakan, ini adalah bagian dari   proses saintifikasi jamu. “Kita galang dokter untuk jadi peneliti. Kita   siapkan bahan uji, sampai bentuk yang akan diberikan ke pasien.” Bentuk yang   diberikan oleh Kemenkes berupa tanaman obat yang sudah dikeringkan, lalu   dikemas. “Mutu terjamin,” kata Lucie.   Kemenkes juga telah mendidik dan melatih 60 dokter. Dokter dari berbagai   puskesmas dan rumah sakit ini menjadi generasi pertama untuk merintis klinik   jamu.  Diharapkan, hasil saintifikasi jamu ini bisa jadi acuan, supaya   dokter kelak bisa meresepkan jamu di puskesmas dan rumah sakit. Sekretaris Bidang Kajian Pengobatan Tradisional IDI, Aldrin Neilwan dari   Rumah Sakit Kanker Dharmais juga sudah ikut pelatihan ini. “Nantinya jamu   yang kita gunakan itu lebih ke arah ramuan. Meracik   jamu sehingga sangat spesifik terhadap orang per orang, dan kasus per   kasus.” Menurut Aldrin, racikan bakal dibuat dengan panduan dasar ilmu   kedokteran.     Mencari Kesembuhan   Aldrin optimistis, jamu dapat dipakai bersamaan dengan obat modern. Jamu   diyakini bakal membantu mengurangi efek samping pengobatan medis, seperti   pengobatan kanker. “Alangkah berharganya apabila kita bisa menemukan jamu   dan memberikan kepada orang yang dikemo, sehingga bisa menekan efek mual.”   Kemenkes menargetkan proses saintifikasi jamu rampung pertengahan tahun ini.   Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Akmal Taher mengatakan, pakai   jamu atau obat modern, yang terpenting bagi pasien adalah kesembuhan. “Kalau   manjur dan nggak ada efek samping, terbukti bagus, efektif, harga murah, itu   yang dicari pasien!”   Kesembuhan, itulah yang dicari Rostini, pasien RSCM. Nenek   72 tahun itu mengidap tumor di payudaranya. Ia   memadukan pengobatan dokter dengan ramuan tradisional. “Dua-duanya. Yang   penting saya sembuh.”  |   
Berbagai macam penyakit yang diderita oleh manusia disebabkan oleh pola dan gaya hidup manusia itu sendiri. Namun ternyata, kedokteran modern yang menggunakan obat berbahan dasar kimia tidak mampu menyembuhkan semua penyakit tersebut. Jamu/Herbal tradisional yang merupakan warisan leluhur bangsa ini, menjadi pilihan yang banyak dipakai untuk pengobatan alternatif. Disamping murah, jamu juga tidak mengandung bahan kimia yang bisa saja justru menimbulkan efek samping yang lain pada tubuh kita.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar