PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI Obesitas 3 - Kegemukan Hubungan Sarapan dan Obesitas Jumlah penderita obesitas di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Susenas tahun 1989, prevalensi obesitas di Indonesia adalah 1,1 persen dan 0,7 persen, masing-masing untuk kota dan desa. Angka tersebut meningkat hampir lima kali menjadi 5,3 persen dan 4,3 persen pada tahun 1999. Hasil pemantauan masalah gizi lebih pada dewasa yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1997 menunjukkan, prevalensi obesitas pada orang dewasa adalah 2,5 persen (pria) dan 5,9 persen (wanita). Prevalensi obesitas tertinggi terjadi pada kelompok wanita berumur 41-55 tahun (9,2 persen). Saat ini diperkirakan 10 dari setiap 100 penduduk Jakarta menderita obesitas. Bertambahnya jumlah orang gemuk juga diindikasikan dengan maraknya pusat-pusat kebugaran yang menjanjikan penurunan berat badan. Selain itu, hampir setiap hari kita melihat di layar televisi atau membaca di surat kabar tentang iklan berbagai produk penurun berat badan. Kalau kita mencari buku di situs Amazon.com (toko buku elektronik terbesar di dunia), dengan menggunakan “weight loss” sebagai kata kunci, ada lebih dari 1.800 judul buku yang menjanjikan penurunan berat badan. Atau, kalau kita gunakan kata kunci yang sama pada salah satu search engine, kita akan menemukan lebih dari 3 juta informasi yang berkaitan dengan penurunan berat badan. Meskipun jumlah orang yang menjalani diet atau melakukan senam kebugaran bertambah, jumlah penderita kegemukan terus meningkat. Banyak orang, walaupun sudah berusaha keras menurunkannya, tidak mendapatkan berat badan yang diharapkan. Pertanyaannya kemudian adalah, adakah cara yang nyaman untuk mencegah kegemukan dan obesitas? Risiko Obesitas Hasil penelitian terbaru mengungkapkan, sarapan secara teratur dapat menurunkan risiko obesitas. Para peneliti dari Divisi Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts membuktikan bahwa pola makan "frekuensi makan dan kebiasaan sarapan" berkaitan erat dengan risiko menderita obesitas. Mereka juga menemukan bahwa makin sering mengonsumsi makanan, makin kecil risiko menderita obesitas. Temuan ini agaknya bertolak belakang dengan pendapat umum yang selama ini berlaku. Bukankah makin sering mengonsumsi makanan mengakibatkan makin banyak energi atau lemak yang dimasukkan ke dalam tubuh dan karena itu makin banyak yang disimpan sebagai lemak? Melalui publikasinya pada American Journal of Epidemiology edisi Agustus 2003, tim peneliti tersebut mengungkapkan bahwa orang yang mengonsumsi makanan sampai dengan tiga kali per hari berisiko menderita obesitas 45 persen lebih tinggi daripada orang yang mengonsumsi makanan empat kali atau lebih. Mengapa demikian? Frekuensi makan yang rendah berkaitan dengan sekresi insulin yang tinggi. Insulin dapat berperan sebagai penghambat enzim lipase, enzim yang memecah lemak. Makin banyak insulin yang disekresikan, makin besar hambatan pada aktivitas enzim lipase. Akibatnya, makin banyak lemak yang ditimbun di dalam tubuh. Temuan kedua adalah kebiasaan sarapan secara teratur menurunkan risiko menderita obesitas. Orang yang tidak pernah sarapan (mengonsumsi makanan pada pagi hari) berisiko menderita obesitas 4,5 kali lebih tinggi daripada orang yang sarapan secara teratur. Para peneliti juga menemukan bahwa asupan energi cenderung meningkat ketika sarapan dilewatkan. Yunseng Ma, ketua tim peneliti tersebut, mengemukakan, orang yang tidak sarapan merasa lebih lapar pada siang dan malam hari daripada mereka yang sarapan. Mereka akan mengonsumsi lebih banyak makanan pada waktu siang dan malam hari. Asupan makanan yang banyak pada malam hari akan berakibat pada meningkatnya glukosa yang disimpan sebagai glikogen. Karena aktivitas fisik pada malam hari sangat rendah, glikogen kemudian disimpan dalam bentuk lemak. Penelitian pada hewan juga menunjukkan, hewan yang tidak diberi makan pada pagi hari cenderung mengonsumsi makanan secara berlebihan pada siang dan malam hari. Asupan Pangan Publikasi terbaru pada Journal of Nutrition terbitan Januari 2004 yang berjudul The Time of Day of Food Intake Influences Overall Intake in Humans mendukung temuan Yunseng Ma dan koleganya. Penelitian yang dilakukan oleh John M de Castro, peneliti dari Departemen Psikologi Universitas Texas, mengungkapkan, ritme Circadian (circadian rhythm) mempengaruhi asupan pangan. (Ritme circadian, Latin: circadian yang berarti kira-kira sehari) adalah irama biologis yang mengatur respons tubuh terhadap perubahan lingkungan. Tubuh kita memiliki “jam biologis” yang mengingatkan kita untuk tidur, bangun, dan makan; mengeluarkan enzim pencernaan; mengatur tingkat kewaspadaan; mengatur pola pengeluaran hormon; dan lain-lain. Apabila irama tersebut mengikuti siklus siang-malam, hal itu disebut ritme diurnal). Beberapa fitur dari jam biologis sirkadian manusia. Melalui penelitiannya pada 375 pria dan 496 wanita, Castro menemukan bahwa proporsi asupan pangan pagi hari berkorelasi negatif dengan asupan pangan total selama satu hari. Ini berarti, sarapan pagi menurunkan asupan pangan dan energi total. Menurut Castro, ada dua penjelasan yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Pertama, melewati pagi hari tanpa sarapan mengakibatkan perubahan pada ritme, pola, dan siklus waktu makan. Orang cenderung lebih banyak makan pada siang dan malam hari apabila mereka tidak sarapan. Penjelasan kedua, yang juga berkaitan dengan penjelasan pertama, adalah makanan pada pagi hari lebih mengenyangkan daripada makanan pada siang dan malam hari. Sarapan pagi berperan mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari. Akibatnya, kita akan lebih sedikit mengonsumsi pangan pada siang dan malam hari. Oleh: Albiner Siagian Pengajar pada Bagian Gizi FKM USU, Medan Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/09/opini/898493.htm |
Berbagai macam penyakit yang diderita oleh manusia disebabkan oleh pola dan gaya hidup manusia itu sendiri. Namun ternyata, kedokteran modern yang menggunakan obat berbahan dasar kimia tidak mampu menyembuhkan semua penyakit tersebut. Jamu/Herbal tradisional yang merupakan warisan leluhur bangsa ini, menjadi pilihan yang banyak dipakai untuk pengobatan alternatif. Disamping murah, jamu juga tidak mengandung bahan kimia yang bisa saja justru menimbulkan efek samping yang lain pada tubuh kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar