PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI Sembelit Jangan Dianggap Remeh Oleh : Indira Permanasari JAKARTA, KOMPAS.com - Sembelit alias sulit buang air besar kerap dipandang enteng dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, sembelit yang dibiarkan berlarut-larut berpengaruh buruk bagi kesehatan, termasuk mengakibatkan kanker. Kebiasaan buang air besar juga bisa menjadi pertanda hadirnya penyakit lain. "Orang kerap abai meski berkali-kali hanya satu kali buang air besar dalam seminggu,” ujar Dadang Makmun, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Gastroenterologi, dalam jumpa pers mengenai Konsensus Nasional Penatalaksanaan Konstipasi 2010 akhir pekan lalu. Bahkan, pernah terdapat kasus seseorang yang tidak buang air besar selama satu bulan. Persoalan sembelit sebetulnya cukup umum atau ada di sejumlah negara. Di negara maju, seperti Amerika, gangguan ”ke belakang” akan menguras kantong. Kunjungan ke rumah sakit akibat konstipasi terhitung 2,5 juta orang setahun. Dari jumlah itu dan 100.000 orang terpaksa dirawat di rumah sakit. Di negeri itu, total pengeluaran untuk laksatif (obat pencahar) mencapai 800 juta dollar AS. ”Di Indonesia belum ada data nasional gangguan sembelit,” ujar Dadang. Dia mencontohkan, dari 2.397 pasien di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang menjalani pemeriksaan kolonoskopi tahun 1998–2005, 9 persen dengan konstipasi. ”Diduga, jumlah penderita konstipasi di Indonesia cukup besar,” ujarnya. Sebesar 36,4 persen menderita wasir dan sekitar 8 persen di antaranya menderita tumor ganas atau kanker usus besar. Terkadang ditemukan pula polip. Semakin lama kotoran di dalam perut, kontak dengan dinding usus bertambah sehingga rawan menyebabkan perubahan atau mutasi sel pada dinding usus. Konstipasi didefinisikan sebagai frekuensi buang air besar kurang dari normal dengan waktu lama, kesulitan, dan disertai rasa sakit saat mengeluarkan tinja. Faktor yang mendasari konstipasi, antara lain, adalah kurang gerak, kurang minum, kurang serat, sering menunda buang air besar, kebiasaan menggunakan obat pencahar, efek samping obat-obatan tertentu, dan depresi. Gangguan lebih berat, seperti usus terbelit, usus tersumbat, dan kanker usus besar, juga bisa menjadi penyebab. Proses buang air besar dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang mengantarkan tinja ke rektum (poros usus) untuk dikeluarkan. Tinja masuk dan meregangkan pipa poros usus diikuti relaksasi otot lingkar dubur dan kontraksi otot dasar panggul. Poros usus akan mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot-otot dinding perut. Dilihat dari waktu Ari Fahrial Syam dari Divisi Gastroenterologi RSUPN Cipto Mangunkusumo menegaskan, konstipasi dilihat dari waktu dan bentuk kotoran. Waktu transit makanan di dalam usus berkisar 12–72 jam. Frekuensi buang air besar kurang dari tiga kali dalam satu minggu sudah termasuk konstipasi. Konstipasi dapat pula ditengarai dari bentuk kotoran, antara lain bergumpal-gumpal kecil atau terlalu cair. Apalagi, seseorang harus menunggu lama atau harus mengejan untuk mengeluarkan tinja. Dua jenis konstipasi Konstipasi dibagi menjadi konstipasi primer dan sekunder. Konstipasi primer merupakan konstipasi fungsional yakni tidak ditemukan kelainan organik maupun biokimiawi di dalam tubuh setelah pemeriksaan saksama. Adapun konstipasi sekunder merupakan konstipasi yang disebabkan penyakit lain, seperti kencing manis, hipotiroid, dan kanker usus besar. Jika usia seseorang berkisar 20–40 tahun, mengalami konstipasi sekunder, dan terdapat kelainan dalam pemeriksaan colok dubur, dokter akan memeriksa lebih lanjut. ”Untuk kasus demikian, penanganan tidak sekadar menghilangkan gejala konstipasinya, tetapi juga penyakit penyebabnya,” ujar Ari. Dia mengatakan, penanganan konstipasi dimulai dengan perubahan gaya hidup selama 2–4 minggu. Rekomendasi yang diberikan, antara lain, adalah menambah masukan serat. Konsumsi serat masih menjadi masalah di Indonesia. Jumlah serat yang disarankan 25 gram. Namun, berdasarkan penelitian Kementerian Kesehatan, konsumsi serat masyarakat Indonesia di sejumlah kota masih 12,5 gram atau separuh dari rekomendasi. Serat yang disarankan ialah yang diperoleh dengan diet berimbang sayur dan buah 50–60 persen, protein 30 persen, dan lemak 20–30 persen. Konsumsi air disarankan memadai, yakni 30–60 cc per jam dan olahraga yang cukup. Serat bersifat menahan air sehingga bermanfaat untuk melembabkan, melunakkan, dan memberikan berat pada feses. Penggunaan obat pencahar diperbolehkan dan sedapat mungkin tidak dikonsumsi dalam jangka waktu panjang. Obat laksatif bekerja dengan cara membuat kotoran menggumpal atau merangsang usus bergerak. Ari mengatakan, dalam konsensus terakhir, dua obat pencahar, yakni anthraquinone dan tegaserod sudah ditarik karena ada efek samping. Obat anthraquinone merusak dinding usus dan tegaserod berefek ke jantung. Belakangan, bakteri probiotik menjadi salah satu alternatif menangani konstipasi. Probiotik merupakan bakteri hidup yang ditambahkan pada makanan dan mempunyai efek menguntungkan dengan meningkatkan kesehatan flora usus. Tingkat efektivitas tergantung galur (strain) bakteri tersebut. Beberapa jenis probiotik, antara lain Bifidobacterium animalis lactis, Bifidobacterium bifidus, Bifidobacterium brevis, Bifidobacterium infantis, Lactobacillus acidophilus, dan Lactobacillus rhamnosus. Makanan yang difortifikasi dengan probiotik, antara lain, adalah produk susu seperti yogurt. Jadi jelas sudah, kita tidak boleh main-main dengan konstipasi. Jika berbagai cara penanggulangan konstipasi primer tidak berhasil, diperlukan pembedahan usus. Namun, agar tidak dipusingkan dengan konstipasi tentu lebih baik mencegahnya sedari dini dan menjaga kondisi pencernaan baik-baik. Seorang dokter ternama, Sir Arthur Hurst (1879–1944), terkenal dengan kata-katanya, ”Tidak ada organ di seluruh tubuh kita yang sangat disalahpahami, dijadikan kambing hitam, dan diperlakukan secara semena-semena seperti halnya usus besar”. Kasus sembelit sepertinya membuktikan ungkapan itu. |
Berbagai macam penyakit yang diderita oleh manusia disebabkan oleh pola dan gaya hidup manusia itu sendiri. Namun ternyata, kedokteran modern yang menggunakan obat berbahan dasar kimia tidak mampu menyembuhkan semua penyakit tersebut. Jamu/Herbal tradisional yang merupakan warisan leluhur bangsa ini, menjadi pilihan yang banyak dipakai untuk pengobatan alternatif. Disamping murah, jamu juga tidak mengandung bahan kimia yang bisa saja justru menimbulkan efek samping yang lain pada tubuh kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar