PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI Sering kali kita melihat penjual jamu gendong yang sedang menjajakan dagangannya. Penjual jamu gendong pada umumnya adalah perempuan, meskipun ada juga yang laki-laki. Pernah juga kita melihat penjual jamu adalah seorang gadis muda berparas cantik. Lalu, bagaimana jika seorang laki-laki ingin mengetahui apakah si penjual masih single atau sudah berpasangan? Pada jaman dahulu, ini ada kodenya dilihat dari jumlah botol yang dibawa. Menurut cerita seorang penjual jamu, status dari seorang penjual jamu dapat dilihat dari umlah botolnya yang dibawa dalam gendongan. Ini dia kodenya: Gadis : Jumlah botol ganjil / 5 atau 7 Janda : Jumlah botolnya 9 Bersuami : Jumlah botolnya 8 Tetapi jaman sekarang, jumlah botol tersebut sering diabaikan oleh penjual jamu sehingga tidak bisa selalu dijadikan patokan, meski ada beberapa yang masih mengikutinya. Test Keperawanan Dengan Botol Ditengah banyaknya kebohongan oleh politisi maupun pejabat di negara kita ternyata masih ada kejujuran yang luar biasa bagi para penjual jamu gendong, dan tradisi ini turun-temurun dan menjadi pantangan untuk dilanggar. Kejujuran dan keterbukaan itu sudah mentradisi sejak jaman kerajaan-kerajaan dulu, dan masih dipegang sampai sekarang. Dan sudah menjadi hukum yang tidak tertulis di kalangan penjual jamu gendong. Mengingkari berarti siap mengambil resiko, dan resiko ini membuat ketakutan bagi mereka, karena menyangkut kelangsungan pekerjaannya. Perawan atau sudah tidak perawan ditandai dengan jumplah botol yang ditaruh dalam bakul (rinjing) gendongannya. Coba lihat gambar diatas, jumlah botol yang berada di bakul bisa menceritakan apakah dia masih perawan atau sudah tidak perawan. Bila jumlah botol yang ada dalam bakul ganjil berarti dia masih perawan, bila jumlah botolnya genap mengartikan bila dia sudah tidak perawan, tidak perawan ini bisa diartikan sudah pernah melakukan hubungan sex, sudah bersuami, maupun janda. Kejujuran para penjual jamu ini layak ditiru, katakan apa adanya, jangan ditutupi meski buruk, meski aib sekalipun. Semoga kejujuran masih tersisa meski mahal harganya, dan kejujuran membumi meski jujur sekarang dimaki. Rahasia Botol-botol Sri “Kamu itu Sri kalau dibilangi selalu ngeyel, menyepelekan, sudah berkali-kali Mbak bilang, jumlah botolmu itu harus ganjil, kok ngeyel, pantesan daganganmu nggak pernah habis, Mbok jangan keminter Sri!” Aku hanya memandang Mbak Retno dengan pandangan tidak suka ketika Mbak Retno mengomel panjang. Percuma bicara dengan Mbak Retno, kalau ditanggapi Mbak Retno bisa sampai bedug mengomel terus. Setiap mau berangkat jualan jamu, Mbak Retno selalu ribut dengan jumlah botol yang mesti kubawa. Di kalangan para penjual jamu memang ada semacam perjanjian yang tidak tertulis. Seandainya penjualnya sudah bersuami maka jumlah botol yang dibawa genap, sebaliknya jika masih sendiri jumlah botolnya ganjil. Aku merasa lucu sekali, Mbak Retno bilang hal itu terjadi supaya yang sudah bersuami tidak diganggu. Ya bagus sih, tapi apa itu berarti yang belum punya suami sepertiku boleh diganggu. Enak saja! Itulah sebabnya aku memilih selalu membawa botol-botolku dengan jumlah genap. Walaupun untuk itu aku harus bertengkar terus dengan Mbak Retno. “Apa mentang-mentang kamu itu sekolahnya lebih tinggi dari Mbak apa! Sekolah tinggi juga akhirnya jualan jamu, jangan keminter kamu Sri!” Selalu begitu. Setiap kali bertengkar Mbak Retno selalu mengungkit masalah sekolahku. Dibandingkan dengan Mbak Retno aku memang lebih beruntung. Aku masih sempat mengenyam pendidikan walaupun hanya sampai tingkat SMP. Sedangkan Mbak Retno SDpun dia tidak tamat. Ini yang membuat aku terkadang ingin menangis. Sekarang ini, apalah artinya tamatan SMP, untuk bekerja dipabrikpun sekarang harus minimal berijazah SMA, orang bilang itu juga susah jika nggak ada yang bawa. Tapi Mbak Retno tidak mengerti. Yang Mbak Retno tahu aku sudah menghabiskan uang dan waktu untuk sekolah tapi tidak ada hasil apapun. Terkadang diam-diam aku sering menangis, aku ingin sekolah tinggi, aku ingin bisa kuliah seperti Mbak Wulan pelanggan jamuku. Aku tidak mau jadi penjual jamu yang sering dilecehkan. Tapi aku tahu, itu hanya mimpi, membayangkan uang jutaan yang harus dikeluarkan untuk bisa sekolah membuat aku benar-benar harus membuang mimpiku jauh-jauh. *** “Wah…wingi rasanya jumlah botolnya genap kok sekarang ganjil, bojomu nangde tho yu? Aku cuma tersenyum sedikit menanggapi omongan Jupri, kuli bangunan di pasar Kutoarjo. Hari ini aku memang terpaksa berjualan dengan botol ganjil setelah Mbak Retno mengamuk dengan memecahi persediaan botol-botolku saat aku bersikukuh dengan jumlah botol genapku. “Berarti ora ono sing duwe to Yu”, Jupri mengerlingkan matanya kepadaku, aku buru-buru memalingkan mukaku. Tiba-tiba aku merasa perutku mual sekali melihat tingkah Kang Jupri. “ Botolmya pecah Pak”, sengaja aku memanggilnya Pak untuk menjaga jarak. Walaupun ia sering protes dan minta dipanggil Kang. Jawabankupun sedikit ketus. Aku tahu seharusnya aku tidak boleh kasar pada pelanggan. Tapi dengan Jupri aku benar-benar sudah kesal, dia selalu menggangguku. Tangannya selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menjawilku. Aku harus mati-matian menghindar. Menjadi penjual jamu sungguh bukan merupakan pilihanku. Pekerjaan ini memang halal, tapi sulit bagiku menghindari orang-orang iseng, walaupun cuma sekedar suitan, aku merasa itu adalah pelecehan buatku. Aku ingin sekolah yang tinggi. Tapi sejak Bapak dan Emak meninggal dalam musibah tanah longsor aku terpaksa berhenti sekolah. Seandainya aku tidak punya kemampuan mungkin aku tidak begitu berharap. Tapi aku adalah pemegang juara dikelasku. Aku merasa aku mampu melanjutkan sekolahku. Tapi Mbak Retno memaksaku berhenti sekolah. Mbak Retno ingin aku seperti dia. Dan aku tidak bisa membantah karena hanya dia satu-satunya saudaraku. Lagian memaksa sekolahpun percuma, aku benar-benar tidak punya uang. “Lhoo…kok ngalamun Nyu, sudahlah nggak usah mikir macam-macam, kalau memang masih sendiri, aku juga isih joko klop khan”, Jupri masih menggodaku. Aku diam tidak menanggapi. Sementara kuli yang lain tertawa. “Terang saja dia masih joko, biar istrinya sudah dua juga masih joko, lha wong memang namanya Joko”, Pak Min, mandor kuli menanggapi. Jupri Cuma cengar-cenggir. Aku pura-pura tidak mendengar. Aku sibuk melayani yang lain. Aku merasa aku menjual jamu dengan harga yang terlalu mahal. Yah …harga diriku. Diam diam aku sering menangis. *** “Bertengkar lagi sama Mbakmu Nduk?” suara lembut Mbok Nem membuat dadaku sesak. Mbok Nem penjual nasi rames di samping rumah kontrak kami memang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. “Sabar thoo Nduk, kalian itu saudara, apalagi orang tua kalian sudah nggak ada, harus akur, Mbakmu memang keras, sabar wae, wong sabar dikasihi Gusti Allah”, Mbok Nem melanjutkan kata-katanya. “Sri ingin berhenti jadi penjual jamu Mbok, Sri pingin sekolah lagi, lagian Sri tidak mau dilecehkan, tapi Mbak Retno nggak mau mengerti”, Nada suaraku sudah bercampur dengan tangis. “Mbok ngerti Nduk, tapi mesti sabar, sekolah itu biayanya nggak sedikit, kalau Mbok ada uang pasti kamu tak sekolahke, sayanngnya …”, Mbok Nem tidak melanjutkan bicaranya. Aku mengerti Mbok Nem tidak jauh berbeda denganku. Ya Allah apakah nasibku memang begini. “Sudahlah Mbok, saya nggak apa-apa, nitip botol ya Mbok, jangan sampai Mbak tahu Sri nitip Botol disini, nanti botol Sri bisa dipecahin lagi”, Aku berusaha tegar. Mbok Nem menatapku dengan pandangan prihatin. Aku memang selalu menitipkan satu botol di tempat Mbok Nem, supaya botol-botolku tetap berjumlah genap tanpa harus bertengkar dengan Mbak Retno. *** “Mulai besok kamu nggak usah jualan jamu Sri!” suara Mbak Retno terdengar tajam ditelingaku. “Percuma jualan kalau nggak niat, kalau memang kamu sekolah, sekolah saja, biar Mbak entar nyari duitnya jadi pelacur sekalian!” lanjut Mbak Retno. Aku terpana mendengar kata-kata Mbak Retno. Aku tidak mengerti mengapa Mbak Retno bilang seperti itu. Dadaku terasa sakit. “Kamu itu memang dari dulu nggak ngaca, anaknya wong ora duwe tapi berlagak, pakai mimpi sekolah segala, apa kamu pikir Mbak nggak ngerti kamu menitipkan botol di Mbok Nem!” aku menunduk mendengar omelan Mbak Retno. Apakah keinginanku sekolah berlebihan, apakah sekolah memang benar-benar hanya mimpi bagi orang sepertiku? “Tadi aku juga ketemu Si Jupri, dia bilang kamu sombong, kamu judes, jualan jamu begitu pantesan sisa terus, Sri…Sri kamu itu nggak usah berlagak, levelmu tuh sama dengan Jupri, berpijaklah di bumi, jangan mimpi terus!” lanjut Mbak Retno. Mbak Retno masih mengomel terus, aku hanya diam, sebagian ada yang masuk ketelingaku, sebagian lagi hilang oleh khayalanku. Ah…seandainya Bapak dan Emak masih ada. *** “Sri mau pergi Mbok…”, suaraku lirih. Setelah pertengkaranku dengan Mbak Retno kemarin, Mbak Retno benar-benar nggak peduli denganku. Dia nggak peduli apakah aku jualan atau tidak. Bahkan Mbak Retno tidak mau bicara denganku, aku merasa sakit sekali. Aku tidak mengerti mengapa Mbak Retno begitu. “Mau kemana tho Nduk, jangan emosi begitu, Mbakmu itu sebenarnya sayang sama kamu, mengalah sedikit dulu, biar Mbok nanti yang bicara”, suara Mbok menenangkanku. “Tapi Mbok, Sri capek, Sri pingin bekerja di kota saja Mbok, Sri tetap ingin melanjutkan sekolah, apa Sri salah?” suaraku bercampur dengan tangis. Mbok Nem menatapku prihatin. “Kowe pingin sekolah banget to Nduk? Ya sudah biar nanti Mbok bilang ke Nardi, siapa tahu Nardi bisa membantu”. “Jangan Mbok, Kang Nardi baru saja kerja, lagian Sri tidak mau merepotkan orang”, aku langsung menolak. Nardi adalah anak Mbok Nem satu-satunya. Tiga bulan lalu, setelah lulus dari STM ia langsung dapat kerja di Jakarta. Sebenarnya aku malu mengandalkan Kang Nardi. Sebelum berangkat dulu aku sempat bertengkar dengannya. Gara-garanya Kang Nardi menyuruhku memakai kerudung. Dia bilang dengan kerudung aku akan terhindar dari gangguan. Masalahnya, aku pikir aku tidak pantas memakainya. Aku hanya seorang penjual jamu. Lagian memakai kerudung berarti aku harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli kerudung. Saat ini aku sedang giat menabung, aku ingin melanjutkan sekolahku lagi. “Sri sudah memutuskan Mbok, Sri mau kerja di kota”, aku melanjutkan kata-kataku. Kemarin Mbak Wulan menawariku kerja ditempat kakaknya jadi pembantu. Aku harus mencobanya. Aku percaya Mbak Wulan, selama ini dia baik padaku. Aku sudah bertekad mengubah hidupku. Mbok Nem hanya diam mendengar kata-kataku. Mbok mengerti sifatku. Mungkin menurutnya sulit mencegahku kalau aku sudah bertekad. *** “Sri ada yang mencarimu, katanya tetanggamu dulu, hati-hati ya Sri takutnya orang yang bermaksud jahat”, suara Bu Wiwik majikanku mengagetkanku. Tetanggaku? Siapa? Jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk tentang Mbak Retno. Aku buru–buru ke serambi depan. Saat melihat Kang Nardi berdiri membelakangiku aku terpana? “Simbok menyuruhku mencarimu, Simbok takut terjadi apa-apa denganmu, kau tidak pernah berkirim surat, aku juga baru tahu kau ke sini saat pulang kemarin, apa kau baik-baik saja?” Kang Nardi bicara denganku tanpa menatapku, pandangannya lurus ke depan. Aku terharu sekali, Mbok Nem sangat perhatian padaku. “Alhamdulillah Kang, Maaf merepotkan, nanti Sri kirim khabar ke kampung, Mbok Nem sendiri bagaimana? Suaraku agak tersendat. “Beliau baik-baik saja, kau tidak ingin tahu khabar Mbak Retno? Suara Kang Nardi seperti jarum yang menusuk ulu hatiku. Saat pergi kemarin, Mbak Retno sepertinya semakin marah padaku. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Walaupun merasa sakit tapi aku berusaha tegar. Itu sebabnya selama enam bulan sejak pergi, aku tidak pernah berkirim khabar. Karena kupikir Mbak Retnopun mungkin sudah tidak mengingatku lagi. Tidak ada yang membuatnya pusing lagi. “Pulanglah Sri, kota ini tidak cocok untukmu, Simbok bilang, Kau ingin melanjutkan sekolahmu, aku bersedia membantumu, Alhamdulillah gajiku kerja di pabrik lebih dari cukup kalau sekedar membiayaimu melanjutkan sekolahmu”. Mendengar kata-kata Kang Nardi, tiba-tiba saja mataku langsung memanas. Keinginan sekolahku memang belum padam. Bukankah keinginan itu yang mendorongku kemari. Tapi sekarang aku mengerti sulit sekali bagiku mewujudkannya. Bukannya Bu Wiwik melarangku tapi keadaan memang tidak memungkinkan. Tidak ada sekolah buka malam hari, sedangkan waktuku hanya malam hari. “Kasihan Mbak Retno, dia menginginkan kamu pulang walaupun dia tidak mengatakannya, tapi percayalah, dia tidak seburuk yang kau duga, selama ini dia keras padamu karena dia menyayangimu, pulanglah Sri sebelum semuanya terlambat”, Aku tidak mengerti dengan ucapannya. “Mbak Retno sakit Sri, pulanglah disana kau bisa merawat Mbak Retno sekaligus melanjutkan sekolahmu, aku bersedia membantumu, aku sungguh-sungguh berniat baik”, mendengar kata-kata Kang Nardi tangisku pecah. Bu Wiwik majikanku tergopoh-gopoh datang. Kang Nardi langsung menjelaskan semuanya. *** Sepanjang perjalanan pulang aku tidak banyak bicara, begitu juga Kang Nardi. Kang Nardi memaksa mengantar, dia bilang dia takut ada apa-apa di jalan, kondisiku sedang tidak stabil. Ingatanku hanya melayang pada Mbak Retno. Ah…selama ini aku salah menilai Mbak Retno. Dan mengingat itu airmataku menetes. Kang Nardi bilang Mbak Retno terkena penyakit kanker darah. Aku mengerti ini penyakit yang mematikan. Selama ini dia menutupinya karena tidak ingin aku sedih. Mbak Retno juga bilang, mendidikku keras supaya aku bisa mandiri. Dan tidak bergantung padanya karena dia merasa dia tidak akan bertahan lama. Saat sakit keraspun Mbak Retno menolak dibawa ke rumah sakit. Percuma, katanya uangnya lebih baik ditabung buatku, dia ingin aku benar-benar bisa sekolah. Mendengar itu aku benar-benar tidak mampu menahan airmataku. Ah…seandainya aku tahu. “Sudahlah Sri, jangan menangis terus, malu sama penumpang lainnya, nanti dikiranya kamu saya apakan lebih baik kamu berdoa saja semoga Mbak Retno baik-baik saja”, suara Kang Nardi mengingatkanku. Aku buru-buru menghapus airmataku. Walaupun tetap saja mengalir, sungguh aku menyesal sekali. *** Semuanya terlambat, satu jam sebelum aku tiba, Mbak Retno pergi. Sepertinya Mbak Retno memang menghindariku. Aku menangis dipelukan Mbok Nem, aku benar-benar menyesal, aku hanya bisa menatap jasad kaku Mbak Retno. Aku tidak mengerti mengapa Tuhan mengambil semua milikku. Aku benar-benar sendiri, kutatap botol-botol jamu Mbak Retno, nasibnya sama denganku kehilangan pemiliknya. >*** “Rencanamu apa Sri, kau jadi melanjutkan sekolahmu?” Satu bulan sejak kematian Mbak Retno aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Pertanyaan Mbok Nem tidak mampu kujawab. Tanganku sibuk menata botol-botol jamu Mbak Retno. Sementara kurasakan mataku mulai memanas. “Sri, sebelum pergi Mbakmu menitipkan kamu pada Simbok. Simbok senang Sri, dari dulu kamu sudah Simbok anggap seperti anak sendiri, kalau simbok boleh usul, lebih baik terima saja usulan Nardi, lanjutkan sekolahmu, tidak usah kuatir dengan biayanya, Nardi itu benar-benar ingin menolongmu”, Simbok menatapku penuh harap. “Sri tidak tahu Mbok, Sri tidak ingin merepotkan, Kang Nardi punya masa depan sendiri, Sri tidak mau jadi beban, mungkin Sri mau melanjutkan jualan jamu”, suaraku terdengar gamang, dadaku terasa sesak menahan isak. “Bisa saya bicara dengan Sri Mbok,…”, suara Kang Nardi mengejutkan kami. Aku tidak tahu Kang Nardi pulang. Mbok Nem buru-buru meninggalkan kami. “Sri, jangan keras kepala, Mbakmu ingin kau melanjutkan sekolah, lagian kau bilang tidak mau jualan jamu lagi, percayalah pada saya Sri, saya hanya ingin membantu”, Kang Nardi menyakinkanku. Aku tahu Kang Nardi memang baik. “Tapi Sri tidak bisa, bagaimanapun Kang Nardi bukan apa-apa Sri, Sri tidak mau nantinya malah merepotkan”, aku berusaha berkilah. Mendengar alasanku kulihat Kang Nardi tercenung. “ Ehm… bagaimana kalau kita menikah, aku bukannya kasihan denganmu, aku sudah siap menikah Sri, setidaknya dengan menikah kau tidak sendiri lagi, tapi jika kau keberatan aku tetap bersedia membantu biaya sekolahmu”, suara Kang Nardi terdengar tegas. Dari dulu pembawaan Kang Nardi memang serius. Aku langsung terpana, botol jamu ditanganku lansung meluncur jatuh. Apakah memang harus berakhir begini? Aku masih tujuh belas tahun. Saat ini yang ada dipikiranku adalah aku ingin sekolah bukan menikah. Tapi Kang Nardi orang yang baik, apakah takdirku menikah dengannya? Inikah hikmah dari musibah yang menimpaku selama ini. Aku tidak tahu, aku merasa ada cahaya kecil di sana, dan aku mulai berjalan ke arah cahaya itu. “Pikirkan Sri, tidak perlu terburu-buru, apapun keputusanmu tidak ada yang berubah Sri, oh…ya ini untukmu”, Kang Nardi menyodorkan sebuah bungkusan kecil kepadaku. “Apa ini Kang….?” aku bingung menerima bungkusan itu. “Bukalah kau akan tahu apa isinya dan setelah itu kuharap kau mau memakainya, aku pulang dulu Sri”, Kang Nardi pamit. Sepeninngal Kang Nardi segera kubuka bungkusan kecil itu. Ternyata sebuah kerudung biru laut dan baju gamis. Tiba-tiba aku tidak mampu membendung airmataku. Saat itulah aku tahu jawabannya. Kupecahkan semua botol-botol jamu milikku dan Mbak Retno. Aku tahu aku tidak memerlukannya lagi. Sulis menyebrang bareng ke arah apartment Papillon dan nantinya dia akan belok ke kanan ke belakang apartment dan aku lurus sedikit baru belok kiri biasanya kami cuma bertukar cengiran, gak pernah ngobrol pagi ini saat aku sampai di sana dan mau ikutan antri nyebrang, mbak jamu sudah ada di deretan paling depan menengok ke belakang ke arah ku dan nyengir, wah aku baru sadar, ternyata si mbak ini manis beneran pengen memotretnya dari belakang tapi kawatir pak pulisi menyemprit utk segera maju jadi saat sampai di seberang, aku memintanya utk berhenti dan berpose sambil tanya, dari mana tadi mbak startnya? dari tanah kusir bu tiap hari? iya dan saat itu juga aku baru tau namanya sulis.. |
Berbagai macam penyakit yang diderita oleh manusia disebabkan oleh pola dan gaya hidup manusia itu sendiri. Namun ternyata, kedokteran modern yang menggunakan obat berbahan dasar kimia tidak mampu menyembuhkan semua penyakit tersebut. Jamu/Herbal tradisional yang merupakan warisan leluhur bangsa ini, menjadi pilihan yang banyak dipakai untuk pengobatan alternatif. Disamping murah, jamu juga tidak mengandung bahan kimia yang bisa saja justru menimbulkan efek samping yang lain pada tubuh kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar