PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI  
   | Tokoh Inspiras Indonesia |    
   
Drs. Radèn Mas Pandji Sosrokartono
Makam Drs. Radèn Mas Pandji Sosrokartono
Sugih tanpå båndhå  
Nglurug tanpå bålå 
Digdåyå tanpå aji 
Menang tanpå ngasoraké 
 
Kaya tanpa harta 
Perang tanpa tentara 
Kuat tanpa kesaktian 
Menang tanpa meremehkan   
 
 Suwung Pamrih Tebih Ajrih 
 
Sugih tanpa banda  
Nglurug tanpa bala 
Digdaya tanpa aji 
Menang tanpa ngasorake. 
 
Menawi kula ajrih, 
Rak kirang manteb kula 
Dateng Gusti kula. 
Tameng kula inggih Gusti kula. 
 
 
Ing donya mung kebak kangelan, 
Sing sapa ora gelem kengelan, aja ana ing donya. 
 
Ajinipun inggih mboten sanes namung aji tekad 
Ilmunipun ilmu pasrah 
Rapalipun adiling Gusti. 
 
Sinau melu susah, melu sakit. 
Tegesipun: Sinau ngudi raos lan batos. 
 
Sinau ngudi kamanungsan. 
Ganjarane ayu lan arume sesami. 
 
Nanging kulo mboten kenging nilar patokan 
Waton kulo piyambak, 
Utawi supe dateng maksud lan ancasipun agesang; 
Inggih punika: ngawula dateng kawulaning Gusti, 
Lan memayu ayuning urip. 
 
Langgeng tan ana susah, tan ana seneng. 
Anteng manteng, sugeng, jeneng. 
 
 
Prabotipun wong lanang inggih punika: 
Bares, wani, mantep 
Kula bade ngukur dedeg kula, 
Nimbang boting kamantepan, 
Njajagi gayuhanipun budi. 
 
Yen kersa nyangoni 
Sampun nyangoni uwas 
Nanging nyangoni mantep lan pasrah. 
Punika sangunipun wong lanang. 
 
Insya Allah kula nglajengaken lampah. 
Tanpa tedeng aling-aling. 
Sampun duwe rasa wani. 
Ugi sampun duwe ati wedi. 
Yen kapengkok aja mlayu. 
Pakarti asor numusi anak putu 
Lan mbekta kasangsarane tiyang katah. 
 
Babad Pajang, Patah, Mataram Sultan Agung,  
Mangkurat lan sapiturutipun 
Saged dados tepa palupi. 
 
Eling,  
Ayo pada dilakoni. 
 
Durung menang, yen durung wani kalah. 
Durung unggul, yen durung wani asor. 
Durung gede, yen durung ngaku cilik. 
 
Welas asih. 
 
Aja dumeh tepa slira ngerti kuwalat 
Yen unggul, sujud bakti marang sesami. 
Ikhlas marang apa sing wis kelakon. 
Trimah apa kang dilakoni. 
Pasrah marang apa kang bakal ana.  
 
“Suwung Pamrih Tebih Ajrih” 
tahun 1886 
Drs. Radèn Mas Pandji Sosrokartono  
Lahir di Jepara, 10 April 1877 
Wafat di Bandung, 8 Februari 1951)
  |     |       Drs. Radèn Mas Pandji Sosrokartono     
 
Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden    Mas Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897,    mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan    bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi    wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I. 
 
Di Indonesia, Sosrokartono mendirikan sekolah dan perpustakaan. Ia juga    membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung. Tempo menelusuri jejak    sang intelektual dan spiritualis ini dari orang-orang yang pernah    bersinggungan dengan Sosrokartono, juga dari berbagai bukunya, termasuk    surat- surat Kartini dan adik-adiknya, dan dari naskah pidatonya yang    masih tersimpan di Leiden. 
 
Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia mendirikan    perpustakaan, rumah pengobatan, dan dicap komunis. 
FOTO hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan rapi. Saat itu    Kartini Pudjiarto masih delapan tahun. Ia bersama ibunya RA Siti    Hadiwati dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM Panji    Sosrokartono di rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung,    milik Sosrokartono. 
 
Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boesono. Keduanya adalah    kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21    April selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak    Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk    periode 1880-1905 dari perkawinannya dengan Ngasirah. Pasangan ini    memiliki delapan anak. 
 
Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pudjiarto itu dipotret    pada 1950, dua tahun menjelang Sosrokartono wafat. Eyang Sosro, begitu    Kartini memanggil, duduk di sebuah kursi. “Eyang Sosro lebih sering    duduk di kursi, karena separuh tubuhnya sudah lumpuh,” ucapnya kepada    Tempo pekan lalu. 
 
Ia masih ingat, setiap kali berkunjung ke rumah panggung yang dindingnya    terbuat dari bambu itu, ia selalu dicium dan diusap kepalanya. Eyang    Sosro sering berpuasa. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. “Eyang sering    hanya minum air kelapa,” tutur Kartini. 
 
Meski separuh lumpuh, Kartono–begitu RA Kartini dan adik-adiknya    memanggil–masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai    kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing,    hingga mengobati berbagai macam penyakit. 
 
Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberikan air putih dan    secarik kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada    pasien. Kartini Pudjiarto masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai    kayu yang berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro.    “Katanya buat jaga-jaga,” ujar Kartini. 
 
Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosro bertulisan    “Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang    tanpa ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa    pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan    selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan    jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal. 
 
Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa    Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari, adalah bagian dari “wajah mistik”    Sosrokartono, orang Indonesia pertama yang terjun ke medan peperangan di    Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan. Selama 29 tahun, Sosrokartono    lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia    kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah    Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan). 
 
Ia mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda,    lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan bangsawan    Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf    Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah    untuk Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan pulang ke    Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad sisa    umurnya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis. 
 
Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra,    Jakarta, 1997) menggambarkan kelebihan Kartono sebagai spritualis itu.    Pram mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (kini RS Dr Cipto    Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan Kartono menyembuhkan    wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi, tapi    sembuh setelah minum air putih yang diberikan Kartono. 
 
Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak seayah    Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang juga kakeknya itu    sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran orang. Menurut pengarang    buku Resep-resep Kartini ini, Eyang Sosro cenderung menyendiri, jauh di    Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang tersebar di Jawa    Tengah. 
 
Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik Sosrokartono merupakan rumah    panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Rumah itu dibangun    memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur. Bangunan itu tepat    berada di depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa sekarang. 
 
Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah berganti,    begitu juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai    sejak 1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9    ketika ditanya tidak tahu bahwa di jalan itu pernah ada pondok    pengobatan milik Sosrokartono. Mendengar cerita Kayanto, pondok    pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang    kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion,    serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi    Sartika. 
 
Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten Sosrokartono, masih    ingat: Darussalam tak pernah sepi. Tamunya mulai dari orang Belanda,    pribumi, hingga Cina peranakan. Ia pernah melihat Bung Karno datang    menemui Kartono. Saat itu Kartono menggoreskan huruf Alif di atas kertas    putih seukuran prangko dan menyelipkannya ke dalam peci Bung Karno,    entah untuk apa. Bung Karno pula, menurut penuturan ayahandanya, kerap    datang untuk belajar bahasa kepada Sosrokartono. 
 
Kartono, menurut Kayanto, tidak pernah lepas dari sebuah tongkat, beskap    berwarna putih lengan panjang, sebuah topi (mirip mahkota) warna hitam,    dan mengalungkan tasbih yang menggantung hingga dadanya. Janggutnya    sebagian sudah memutih, sorot matanya tajam, dan lebih banyak diam. 
 
Darussalam, selain menjadi rumah pengobatan, juga sebuah perpustakaan.    Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19 Juli 1926 (Surat- surat    Adik R.A. Kartini terbitan PT Djambatan 2005) menceritakan selain    mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adiknya, RA    Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di Bandung. “Perpustakaan ini    tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari    suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang    berarti rumah kedamaian,” tulis Kartono. 
 
Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang insinyur perusahaan    kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua    orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa.    “Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada    perbedaan, tiada perselisihan,” ucap Kartono. 
 
Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen tetap    bahasa, sastra, dan budaya Jawa Fakultas Sastra Universitas Indonesia,    mengatakan Darussalam adalah bekas gedung Taman Siswa Bandung. Kartono    diminta menempati gedung itu oleh RM Soerjodipoetro, adik Ki Hajar    Dewantara. “Eyang Sosro di sana karena diminta menjadi pimpinan    Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman    Siswa,” ujar Budya. 
 
Di perpustakaan inilah tokoh pergerakan Indonesia sering berkumpul,    termasuk Ir Soekarno. Bung Karno juga diminta mengajar di sekolah itu    bersama Dr Samsi dan Soenarjo SH. Gedung ini juga dipakai oleh Partai    Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie    pimpinan Abdoel Rachim, mertua Bung Hatta. 
 
Kepeloporan Kartono sebagai tokoh pendidikan inilah yang hendak dikenang    Sukadiah Pringgohardjoso, mantan Duta Besar RI untuk Denmark    (1981-1984). Sukadiah kini aktif sebagai pembina Yayasan Pendidikan Anak    Sehat Sosrokartono di Cengkareng Barat, Jakarta. Yayasan ini didirikan    oleh Sosrohadikusumo, anak dari Soematri Sosrohadikusumo–adik Kartono.    “Kami lebih mementingkan hal-hal konkret: mendidik anak sesuai dengan    keinginan beliau dan mengentaskan kemiskinan,” ujar Sukadiah. 
 
Kartono tak pernah beku. Di Belanda, selain kuliah, ia menjadi    koresponden liputan Perang Dunia I untuk koran The New York Herald,    cikal bakal The New York Herald Tribune. Agar bisa lebih masuk ke kancah    perang, ia menerima pangkat mayor dari tentara Sekutu, tapi menolak    dipersenjatai. Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan adalah    ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman    yang menyerah dan tentara Prancis yang menang perang (Baca:      Wartawan Mooie dari Hindia Belanda). 
 
Sebagai koresponden perang, tulis Mohammad Hatta dalam Memoir, Kartono    bergaji US$ 1.250 sebulan. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup    sebagai seorang miliuner di Wina. Menurut cerita ia bergaul dalam    lingkungan bangsawan,” tulis Hatta. 
 
Kartono, intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu, mudah diterima    kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia    berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab,    Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, “Ia juga pandai berbahasa    Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol,” kata Hatta. 
 
Dengan pengetahuan dan kecakapan berbahasa itu, Kartono memberanikan    diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899,    sebelum berangkat ke Batavia untuk memangku jabatannya yang baru.    Solichin Salam dalam Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi (terbitan    Yayasan Pendidikan Sosrokartono, 1979) menyebutkan, dalam pertemuan    tersebut Kartono meminta kepada Rooseboom untuk benar-benar    memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda. 
 
Profesor Dr J.H.C. Kern, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden,    kemudian mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa    dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899. Dalam    kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra Belanda di pelbagai    negara itu, Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia    Belanda yang tak dipenuhi pemerintah jajahan. 
 
Dalam pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di    Indonesia), Kartono antara lain mengungkapkan: “Dengan tegas saya    menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin    kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan    menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci.    Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!” 
 
Keluhuran tradisi itulah yang menurut Kartono mesti dipertahankan    orang-orang pribumi di mana saja berada. Dengan cakrawala pengetahuan    yang terbuka–Kartono meminta pemerintah jajahan agar bahasa Belanda dan    bahasa internasional lain diajarkan di Hindia Belanda–kaum pribumi bisa    mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga diri mereka. 
 
Setelah 29 tahun melanglang Eropa sejak 1897, pangeran tampan dari tanah    Jawa itu pun pulang. Ia ingin mendirikan sekolah sebagaimana    dicita-citakan mendiang adiknya, Kartini. Ia juga ingin mendirikan    perpustakaan. Untuk menghimpun modal, pada mulanya ia melamar menjadi    koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda, tapi koran itu    sudah berganti pemilik dan merger dengan koran lain. 
 
Namun, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartono menyatakan    kekecewaannya. Sesampai di Jawa, ia telah dicap sebagai komunis oleh    pemerintah jajahan. “Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang    saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Kartono. 
 
“Tapi kepada Anda, Nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah    saya dan Kartini, bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham    komunis, dulu tidak, sekarang pun tidak. Tidak ada yang lebih saya    inginkan daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama bangsa saya,    dalam artian yang telah dimaksudkan oleh Kartini,” ucap Kartono. 
 
Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok pergerakan di    Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu    mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa    Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional di    kota ini. 
 
Pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan orang-orang kelaparan dan    diserang berbagai macam penyakit. Kartono pun kemudian menjalankan laku    puasa bertahun-tahun untuk merasakan apa yang juga diderita    saudara-saudaranya. Ia juga menjadikan Darussalam sebagai rumah    pengobatan. 
 
Cerita air putih, Alif, dan wejangan-wejangan hidup dalam bahasa Jawa,    kemudian mengalir dari sini dan menjelmakan Kartono sebagai seorang    penyembuh. Walaupun tak memiliki murid, di kemudian hari Kartono    memiliki “pengikut”. Paguyuban Sosrokartanan, komunitas pencinta    Sosrokartono, kini telah ada di empat kota: Jakarta, Yogyakarta,    Semarang, dan Surabaya. Di Yogyakarta, paguyuban ini juga membuka rumah    pengobatan. 
 
Separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942. Kartono mangkat pada 1952,    tanpa meninggalkan istri dan anak. Ia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa    Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono terdapat    makam ibunya Nyai Ngasirah dan bapaknya RMA Sosroningrat. 
 
Di dinding pagar besi di makam Kartono, terpasang tulisan huruf Alif    dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Kartono    mengenakan setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum    kata- kata terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di    nisan sebelah kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah (rela menyerah    terhadap keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (jika    tak berniat jahat, tidak perlu takut), langgeng tan ana susah tan ana    bungah (tetap tenang, tidak kenal duka maupun suka), anteng manteng    sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).  |    
  
  
 Kunjungan Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 6 November 1949) ke Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu Jawa Tengah, tanggal 24 Januari 2007 Kunjungan Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 6 November 1949) ke Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu Jawa Tengah, tanggal 24 Januari 2007 Kunjungan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH ke Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu Jawa Tengah, tanggal 25 Januari 2007 
 
  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar