PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI Bathara Kala SukertaBarangkali kalian semua termasuk salah satu dari manusia yang punya sukerta.  Sukerta itu ‘kotoran penghalang hidup’ hingga suatu kerja bahkan mimpipun  tidak akan sukses, jika orang dalam keadaan sukerta. Celakanya orang yang dalam  keadaan sukerta tidak tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya dalam keadaan  sukerta. Baca saja, golongan seperti apa yang mask criteria ‘orang sukerta’. Sukerta ini istilah untuk orang-orang yang hidupnya menjadi lemah, diancam oleh  sesuatu yang tidak diketahui. Menurut adat Jawa, golongan penyandang lemah diri  dialami oleh mereka yang masuk dalam kriteria ‘menu Bathara Kala’. Juga  bagi orang yang akan melewati dan mengubah masa depannya dan orang yang merasa  nasibnya selalu buruk. Yang dimaksud adalah orang yang: 
 Secara adat orang dengan golongan lemah tersebut perlu dibantu. Caranya  dengan ruwatan supaya dapat terbebas dari kelemahannya. Dalam ruwatan tidak lepas dari cerita wayang. Tokoh wayang Bathara Kala adalah  raksasa yang suka makan bayi. Ada banyak versi yang menyebtkan macam-macam bayi  yang menjadi santapan Bathara Kala. Mangkunagoro VII dalam buku ‘Serat  Pedalangan Ringgit Purwa jilid 2’ mengurai 14 jenis bayi sukerta. Serat Manikmaya 60  sukerta. Serat Murwakala karya Reditanaya 13 sukerta. Serat Batara Kala karya  Soerowinarso 19 sukerta. Serat Pustakaraja krya Ronggowarsito 26 sukerta dan  Babad Ila-ila karya Soemohatmoko malah menyebut 100 sukerta. Ada 3 golongan sukerta. Menurut Bauwarna karya Harmanto Bratasiswara : Golongan sukerta karena cacat kodrati 
 
 Ini golongan orang yang pernah melakukan sesuatu kelalaian  perbuatan dengan sengaja atau tidak sengaja, kalian termasuk orang-orang yang  harus diruwat karena kena sukerta. 
 
 
 Bathara Kala versi Surakarta Hadiningrat BATHARA KALA Bathara Kala seorang Dewa, putra Betara Guru dan dilahirkan  ditengah samudera Bathara Kala dilahirkan berupa api berkobar-kobar yang tak  dapat dipadamkan. Segenap Dewa menggunakan kesaktian mereka untuk memadamkan api  itu, tetapi sia-sia belaka. Segala senjata yang ditujukan pada Bathara Kala,  merasuk ke dalam jiwanya dan semakin menambah sakti Dewa itu. Kemudian api  berobah menjadi raksasa yang tak terhingga besarnya dan naiklah raksasa itu ke  Suralaya (kerajaan Dewa) untuk menanyakan, siapa bapaknya. Oleh karena Betara Guru merasa kuwatir akan terjadnya bencana  lebih besar, ia pun mengaku, bahwa raksasa itu adalah putranya. Kemudian Betara  Guru menghilangi kesaktian Bathara Kala dengan mencabut kedua caling putranya  itu. Kedua caling ini dijadikan keris dan akhirnya menjadi senjata Pendawa.  Itulah sebabnya mengapa peribahasa Jawa mengatakan tentang mengadu caling  Bathara Kala, kalau seseorang menggunakan senjata keris. Sesudah raksasa itu diakui putra oleh Betara Guru, diberilah  ia nama Kala dengan gelar Betara yang berarti Dewa, dititahkan untuk bertempat  tinggal di Nusakambangan dan kemudian beristrikan Bathari Durga. Oleh Betara Guru, Bathara Kala diberi kekuasaan di dunia ini  untuk mengambil manusia sebagai mangsanya, tetapi manusia yang akan dijadikan  mangsa harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan pengambilan mangsanya pun tak  boleh menyalahi pantangan-pantangan Dewa. Menurut kepercayaan, dunia ini penuh larangan dan pantangan.  Pokok dari segala itu tak lain ialah supaya orang jangan rnenyakiti sesama hidup  secara badaniah dan batiniah dan supaya orang menajankan kebajikan terhadap  sesama hidup. Bathari Uma pun mengizinkan seseorang untuk dijadikan mangsa  Bathara Kala, kalau orang itu misalnya melanggar pantangan-pantangan berikut: 
 Untuk menghalang-halangi datangnya Bathara Kala, para Dewa  telah menganugerahkan kepada manusia sejumlah rafal dengan mengucapkan tulisan  yang terdapat pada tubuh Bathara Kala, pengucapan mana dapat melemahkan  kesaktian Bathara Kala. Bunyi tulisan itu adalah sebagai berikut: Yamaraja jaramaya, jamarani rinumaja, yasiraya yarasia yasirapa parasia lawagna lawagni, sikutara sikutari, sikutaka si bintaki, sidurbala sidurbali, si rumaya si rumayi, si hudaya si hudayi, si srimaya gedah maya, si dayudi si dayuda, hadayudi nihudaya Bathara Kala bermata plelengan, berhidung bentuk haluan perahu bermulut ngablak (terbuka). Berjamang dengan garuda membelakang, bersongkok Dewa, berambut terurai, berbulu di dada hanya tangan depan yang bergerak, berpakaian kerajaan raksasa. Menurut kepercayaan orang Jawa, dilakukan juga upacara meruwat dengan memainkan lakon wayang Murwakala. Caranya adalah sebagai berikut: Lakon dimainkan waktu sore  hingga tamat ceritanya. Menjelang pagi disambungkan cerita yang mengkisahkan  tentang seorang anak yang dikejar kejar dan akan dimakan Bathara Kala. Tetapi  Bathara Kala bisa ditipu dengan makanan biasa dan ia pun menerima ganti itu. Di  waktu menyantap hidangan yang disajikan, hal tersebut diperlihatkan dengan  menyuapi nasi wayang Bathara Kala. Sesudah habis gangguan Bathara Kala itu, maka anak yang  diruwat dianggap telah terlepas dan mara bahaya. Kemudian anak yang diruwat  memasukkan uang ke dalam paso berisi air kembang, perbuatan mana diikuti oleh  para penonton yang juga ingin minta berkah. Waktu Oleh orang Jawa Tengah, hajat meruwat dalam banyak hal dilakukan secara besar-besaran, Jaman dulu banyak sekali terdapat alasan bagi seseorang untuk melaksanakan hajat meruwat dan orang pun belum merasa puas, kalau hajat itu belum dilakukan Alasan untuk mengadakan ruwatan berbagai macam, antara lain bisa juga karena merobohkan dandang sewaktu menanak nasi, karena mematahkan anak batu giling sebuah pipisan dan lain-lain. Oleh karena pantangan banyak sekali macamnya maka sebagai kiasan dapat dikatakan, bahwa harus berhati hatilah orang selalu, agar jangan sampai berbuat salah. Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982 Penulis : Soetarno Penerbit : CV. Cendrawasih, 1995, Surakarta Bahasa : Indonesia Halaman : 95 Ringkasan isi : Pertunjukan wayang kulit bagi masyarakat Jawa mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai tontonan dan sebagai upacara baik upacara ritual atau pun upacara seremonial. Pertunjukan wayang kulit untuk upacara ritual misalnya untuk upacara ruwatan. Pertunjukan wayang kulit untuk upacara ruwatan dipergunakan oleh orang Jawa sebagai pembebas manusia dari kekuatan supranatural buruk yang mengancam manusia yang sial (Jawa: sukerta) keberadaannya di muka bumi. Di dalam tradisi Jawa orang-orang yang keberadaannya nandhang sukerta (berada dalam “dosa”) maka ia harus diruwat, sebab kalau tidak hidupnya akan sengsara dan membahayakan lingkungan. Ia diyakini menjadi makanan atau mangsa Bathara Kala. Bathara Kala adalah anak Bathara Guru yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikan. Karya-karya sastra Jawa yang memuat cerita tentang Bathara Kala dan wong sukerta misalnya Kitab Parthayajna, Kitab Sudamala, Kitab Smaradahana, Kitab Kresna Kalantaka, Pakem Kandhaning Ringgit Purwa dan Serat Centhini. Serat Centhini menyebutkan ada 19 jenis wong sukerta, Serat Manikmaya 60 jenis, Serat Pustaka Raja Purwa 136 jenis. Wong sukerta tersebut misalnya ontang-anting (anak tunggal laki-laki), kembang sepasang (dua anak perempuan semua), bungkus (lahir masih terbungkus selaput pembungkus bayi), orang yang ketika menanak nasi merobohkan dandang (tempat menanak nasi). Lakon ruwatan yang sering dipergelarkan di daerah Surakarta adalah Murwakala/ Purwakala. Dapat dikatakan Murwakala memuat penghayatan kejawen atas eksistensi manusia, adanya di dunia beserta segala hal yang berakibat di dalamnya. Dalam lakon ini yang menjadi titik pandangan manusia akan dirinya, bukan manusia yang baik dan sempurna, melainkan keadaan manusia yang terlibat bencana atau salah kedaden. Keadaan seperti ini dipandang sukerta, sengsara, dan kotor sehingga memerlukan peruwatan, pelepasan dan pembersihan sehingga dapat mengantarkan ke alam sempurna selanjutnya mampu mengarahkan hidupnya dalam kedudukan sewajarnya. Untuk pergelaran wayang kulit lakon Murwakala diperlukan perlengkapan sebagai berikut gamelan satu perangkat, wayang kulit satu kotak, kelir dan blencong. Sesajian yang disiapkan antara lain: 
 Mantra merupakan aspek yang penting dalam upacara ruwatan.  Mantra adalah perkataan atau kalimat yang dapat mendatangkan daya gaib. Para  dalang ruwat bahkan merahasiakan mantra tersebut. Alasannya kalau diucapkan  tidak pada saat ruwatan bisa menimbulkan akibat yang kurang baik. Mengenai  mantra ini setiap dalang tidak sama, tergantung kemampuan, pengalaman dan  tradisi atau pakem yang dianut. Namun diantara mantra-mantra tersebut yang pokok  adalah  
 Dalam upacara ruwatan dalang merupakan tokoh penting yang  bertanggung jawab atas pelaksanaan pergelaran wayang mau pun bertanggung jawab  secara spiritual apapun yang terjadi terhadap pelaksanaan upacara ruwatan. Untuk  itu diperlukan syarat-syarat tertentu antara lain sudah lanjut usia (dalam arti  telah masak betul pengalamannya), setidak-tidaknya sudah pernah mantu  (menikahkan anak). Dalam beberapa adegan pergelaran wayang untuk ruwatan yang  penting adalah pecakapan antara Dalang Kandha Buwana dengan Bathara Kala di mana  terjadi adu argumentasi. Dalam argumentasi tersebut Dalang Kandha Buwana dapat  menjelaskan asal-usul Kala serta membaca tulisan yang terdapat dalam tubuhnya.  Kala mengaku kalah dan akhirnya minta diruwat. Di daerah Surakarta dalang ruwatan bisa dibedakan antara  dalang versi Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Dalam upacara ruwatan  keduanya sama-sama menggunakan lakon Murwakala, disertai dengan berbagai macam  sesaji dan upacara ruwatan dilaksanakan siang hari antara pukul 09.00 – 12.00.  Perbedaannya dalang ruwat Kasunanan harus bisa menunjukkan bahwa ia masih  “keturunan” dalng Panjangmas, sedangkan dalang ruwat Mangkunegaran tidak harus  keturunan dalang Panjangmas yang penting sudah mampu dan matang pengalamannya. Pelaksanaan ruwatan dewasa ini mengalami berbagai perubahan. Perubahan tersebut dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu: Perubahan teknis, tokoh wayang yang digunakan yang pokok saja (Bathara Guru, Wisnu, Kala), adegan diperpadat, waktu dipersingkat. Perubahan sosial, pandangan orang terhadap pergelaran wayang untuk upacara ruwatan saat ini kurang memperhatikan fungsi ritual. Perubahan pendidikan, adanya bentuk-bentuk pendidikan kesenian baik langsung maupun tidak langsung, sangat mempengaruhi tingkah laku, dan sikap seniman dalang ruwat. Buku ini juga memuat cerita Murwakala versi Mangkunegaran dan  Kasunanan secara ringkas, serta beberapa mantra yang digunakan oleh dalang ruwat  versi Panjangmas (Kasunanan) seperti Jantur Wa Kala Mur, Santipurwa, Aksara ing  Telak dan versi Mangkunegaran seperti Aksara ing Bathuk, Aksara ing Dhadha  (Sastra bedhati), Gumbala Geni, Padusan Kala. Melalui upacara ruwatan dengan pergelaran wayang kulit dapat terungkap nilai-nilai yang terkandung dalam pola kehidupan masyarakat setempat serta pergelaran tersebut dapat menjadi sarana sosialisai dan pembentukan diri masyarakat yang bersangkutan, dengan berbagai perubahan yang terjadi. Teks : Kusalamani  |   
Berbagai macam penyakit yang diderita oleh manusia disebabkan oleh pola dan gaya hidup manusia itu sendiri. Namun ternyata, kedokteran modern yang menggunakan obat berbahan dasar kimia tidak mampu menyembuhkan semua penyakit tersebut. Jamu/Herbal tradisional yang merupakan warisan leluhur bangsa ini, menjadi pilihan yang banyak dipakai untuk pengobatan alternatif. Disamping murah, jamu juga tidak mengandung bahan kimia yang bisa saja justru menimbulkan efek samping yang lain pada tubuh kita.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar