PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI Meracik Jamu, Perpaduan Antara Seni dan Pengetahuan SUHARMIATI DAN LESTARI HANDAYANI Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan Pendahuluan Hampir seluruh masyarakat, khususnya di Indonesia mengenal  kata "jamu". Jamu yang berasal dari bahasa Jawa merupakan obat tradisional  berupa racikan akar-akaran atau tumbuhan1. Jamu diartikan sebagai  racikan tumbuhan yang digunakan dalam penyembuhan tradisional, pemeliharaan  kesehatan dan kecantikan tradisional, serta racikan tumbuhan untuk makanan dan  minuman tradisional. Jamu pertama kali berkembang di daerah Jawa Tengah,  termasuk Yogyakarta dan Jawa Timur2. Dua daerah itu merupakan cikal  bakal perkembangan obat tradisional di Indonesia. Di daerah-daerah lain di  Indonesia, pengobatan menggunakan obat tradisional juga sudah banyak  dimanfaatkan dengan nama atau istilah yang berbeda, namun perkembangannya  sebagai industri tidak secepat dan sebaik yang ada di pulau Jawa. Keberadaan jamu tidak dapat dipisahkan dengan budaya lokal  masyarakat. Adanya upaya untuk membuat atau meracik jamu terdorong oleh  kebutuhan masyarakat setempat yang diimbangi dengan ketersediaan bahan baku yang  melimpah di lingkungan tersebut. Oleh karena itu, dalam meracik jamu selalu  terkait dengan budaya setempat yang mempengaruhi peracik atau pembuat jamu yang  merupakan penduduk lokal suatu daerah. Perbedaan budaya atau adat kebiasaan  lokal memberi warna tersendiri bagi masing-masing suku dalam menyiapkan obat  tradisional yang akan digunakan. Di alam moderen, obat moderen yang berasal dari bahan kimia  telah menggeser jamu, namun tidak mampu menyingkirkan jamu dari masyarakat. Obat  moderen telah menyerbu dengan gencar melalui promosi hasil dan khasiat yang  lebih menjanjikan serta memberikan harapan. Obat tradisional dalam masyarakat  Indonesia tetap dicintai dalam bentuk aslinya sebagai "jamu" yang tentu saja  tidak dapat dibandingkan dengan "fitofarmaka" yang notabene adalah "obat  moderen" yang diolah dari bahan alam. Kelebihan jamu memberikan tempat  tersendiri di hati penggunanya sehingga jamu mampu bertahan di tengah terpaan  budaya moderen. Racikan jamu menyimpan suatu perpaduan seni dan pengetahuan,  serta merupakan suatu ketrampilan tersendiri pada orang-orang tertentu.  Pemeliharaan terhadap ketrampilan ini perlu terus dibina agar budaya asli ini  tetap terjaga kelestariannya.  Jamu Sebagai Warisan Budaya Bangsa2Secara umum, dapat dilihat bahwa minum jamu sudah menjadi  budaya bagi orang Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal ini ditandai dengan peranan  jamu yang sangat beragam bagi kehidupan masyarakat Jawa, mulai dari proses  kelahiran, masa remaja, dewasa, bahkan sampai masa tua. Mereka minum jamu dengan  maksud menjaga kesehatan, kekuatan, maupun kecantikan. Sebagai unsur budaya,  dapat dikatakan bahwa jamu telah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu,  seiring dengan berkembangnya peradaban masyarakat Jawa. Hal ini dapat dilihat  dari gambar-gambar relief di candi-candi seperti Candi Borobudur, Prambanan,  serta candi Penataran berupa gambar-gambar pohon kamboja, maja, maja keling,  buni, dan lain-lain. Di antara pohon itu, ada yang merupakan bahan obat,  kosmetik, atau bahan jamu yang sampai sekarang masih digunakan. Mengingat  keterbatasan kemampuan baca tulis masyarakat Jawa pada masa itu, kebanyakan  resep jamu diturunkan kepada generasi berikutnya dengan dituangkan dalam  sekar-sekar atau tembang-tembang yang dapat kita baca dalam buku "Serat  Centini". Buku yang berisi tentang resep racikan jamu pertama kali muncul pada  1831, yaitu "Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi". Naskah aslinya masih tersimpan  di Sonopoestoko Kraton Susuhunan Surakarta. Pada masa pemerintahan Paku Buwono X  juga ditulis buku mengenai resep jamu, yaitu "Primbon Jampi Jawi" yang saat ini  sudah ditulis dengan huruf latin.  Aturan dan Tatacara Meracik JamuMeracik jamu adalah pekerjaan yang dimulai dari memilih bahan  baku, membersihkan, menakar, melumatkan, menyaring, dan menempatkan obat  tradisional. Pekerjaan meracik dapat mempengaruhi manfaat dan kenikmatan rasa  jamu. Untuk mendapatkan manfaat yang baik, perlu diperhatikan tentang higiene  dan sanitasi pada proses pembuatan jamu tersebut.  Higiene dan Sanitasi3  Higiene dan sanitasi ialah upaya yang dilakukan untuk  menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Secara garis  besar, perbedaan antara higiene dan sanitasi ialah higiene lebih mengarah pada  aktivitas manusia sedangkan sanitasi lebih menitikberatkan pada faktor-faktor  lingkungan. Mengingat para pembuat jamu umumnya masyarakat golongan ekonomi  lemah dan berpendidikan menengah ke bawah, maka pada umumnya tidak terlalu  memperhatikan higiene dan sanitasi. Sementara itu, pembuatan jamu dalam jumlah  besar akan memberi peluang bagi terjadinya pencemaran yang lebih tinggi. Jika  higiene dan sanitasi tidak diterapkan dengan baik maka akan dihasilkan jamu  dengan mutu yang jelek. Bahkan, dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak  diinginkan dalam kesehatan, misalnya terjadinya penyakit. Agar diperoleh jamu  yang memenuhi persyaratan kesehatan, perlu diperhatikan hal-hal seperti air yang  digunakan, kondisi pembuat jamu, bahan baku, peralatan, serta wadah yang akan  digunakan. Agar jamu yang dihasilkan higienis, air yang digunakan untuk  pembuatan jamu harus air bersih. Air ini dapat diambil dari air PDAM, air sumur,  air sumber, maupun air mineral. Air bersih mempunyai tanda-tanda tidak berbau,  tidak berwarna dan jernih, tidak berasa, tidak mengandung bahan kimia yang  berbahaya, serta tidak mengandung bibit penyakit. Pembuat jamu merupakan unsur penting dalam rangkaian/proses  pembuatan jamu. Higiene perseorangan pembuat jamu dan berperilaku higienis  merupakan jaminan utama untuk dapat membuat jamu yang bersih. Seorang pembuat jamu haruslah dalam keadaan sehat pada saat  membuat jamu. Kondisi sakit dapat berpengaruh terhadap jamu, khususnya apabila  menderita penyakit menular. Jamu dapat menjadi media penularan penyakit bagi  konsumennya. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pembuat jamu adalah kesehatan,  kebersihan, perilaku higienis, serta kebersihan pakaian dari pembuat jamu.  Peralatan yang digunakan dalam membuat jamu harus dalam keadaan bersih. Sebelum  digunakan, peralatan harus sudah dalam keadaan bersih dan dikhususkan untuk  pembuatan jamu. Pencucian yang segera dilaksanakan pada setiap kali selesai  digunakan, akan memudahkan pembersihan dan membuat peralatan menjadi lebih tahan  lama. Peralatan yang selesai dibersihkan harus disimpan dalam keadaan kering dan  di tempat yang kering pula, agar tidak terjadi pertumbuhan jamur yang dapat  merugikan kesehatan. Jamu yang telah diolah dan siap dipergunakan biasanya  diletakkan dalam wadah. Sebelum digunakan, wadah tempat jamu harus dibersihkan  dahulu dengan cara dicuci, kemudian dibilas dengan air matang. Bahan baku merupakan bahan pokok dalam produksi jamu. Oleh  karena itu, kebenaran bahan, ketepatan takaran, dan kualitas bahan menjadi  sangat penting. Setiap bahan baku yang akan digunakan harus dilakukan sortasi  terlebih dahulu untuk membebaskan bahan dari bahan asing dan kotoran lainnya.  Setelah dilakukan sortasi, kemudian dicuci dengan air bersih dan dikeringkan.  Bila tidak langsung digunakan, bahan disimpan dalam wadah yang tertutup.  Meracik Jamu Sebagai Suatu SeniSeperti diterangkan di atas bahwa meracik jamu adalah pekerjaan yang dimulai dari memilih bahan baku, membersihkan, menakar, melumatkan, menyaring, dan menempatkan jamu dalam suatu wadah. Bila kita kaitkan dengan seni yang merupakan "rasa" dari apa yang kita kerjakan, maka setiap langkah dari kegiatan meracik jamu mempunyai nilai seni tersendiri Pemilihan Bahan Baku Bahan baku bisa diperoleh dari hasil panen sendiri atau  dengan cara membeli. Bila kita mengambil bahan baku dari kebun obat, kita sudah  bisa merasakan bahwa apa yang akan kita ambil tersebut merupakan ciptaan Tuhan  YME, yang patut kita syukuri. Dilihat dari warna dan wujud tanaman yang tidak  terhingga banyaknya maupun dari kegunaan tanaman tersebut, kita akan mengakui  bahwa tidak ada sesuatu yang diciptakan dengan sia-sia. Selain itu, dalam  pemilihan bahan baku kita mengetahui tinggi tidaknya kandungan bahan berkhasiat  yang bisa di-"rasa"-kan dari bau, warna , besar/kecilnya, ataupun  bentuk/wujudnya. Sebagai contoh, bila memilih bahan baku kunyit, pertama-tama  kita pilih dahulu empu dari kunyit tersebut. Biasanya, empu kunyit lebih besar  dibandingkan dengan yang bukan empu. Bila kita potong kunyit tersebut, maka kita  akan memilih kunyit dengan warn oranye, bukan warna kuning, karena warna kuning  menunjukkan jenis kunyit yang muda. Baunya pun kurang keras dibandingkan dengan  yang berwarna oranye. Hal tersebut menunjukkan kandungan bahan berkhasiat  kurkumin dan minyak atsiri yang rendah. Kadang-kadang, peracik jamu menentukan bahan baku yang sesuai  melalui sesuatu yang tidak rasional. Misalnya melalui mimpi, insting, atau suatu  perasaan keyakinan bahwa tanaman tersebut bermanfaat, atau petunjuk berdasarkan  suatu kejadian.   MembersihkanPada saat kita membersihkan suatu bahan jamu, kita menyadari  bahwa kebersihan pangkal kesehatan. Tetapi, di balik itu ada rasa kepuasan  apabila kita mampu menyajikan sesuatu yang bersih. Dengan menghayati dan  meresapi pembuatan jamu, akan dihasilkan jamu yang bermanfaat.   MenakarUntuk memperoleh khasiat yang sama dalam pembuatan jamu,  diperlukan takaran dari masing-masing bahan baku. Bila kita meracik jamu  dengan nilai seni, maka kita melakukannya dengan rasa, sehingga jamu yang  dihasilkan akan mempunyai khasiat yang sama. Takaran secara tradisional  kadang-kadang hanya menggunakan cara dan alat yang sederhana. Perasaan tentang  ketepatan takaran maupun jenis bahan kadang-kadang tidak dapat disamakan untuk  peracik jamu antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh, bila dalam pembuatan  suatu jamu kita menggunakan "rasa" maka akan dihasilkan suatu jamu dengan rasa  dan aroma yang sama. Misalnya, pembuatan jamu kudu laos dengan rasa yang pedas  karena rasa dari laos, aroma yang keras dari bahan kudunya, serta dengan  kekentalan tertentu. Rasa pedas dari laos serta aroma yang keras dari kudu  tersebut bisa dihubungkan dengan pemilihan bahan baku, yaitu dipilih bentuk,  besar, bau, serta warna tertentu yang dapat dirasakan oleh pembuat jamu. Bila  kita meracik jamu tersebut dengan menggunakan rasa, maka akan dihasilkan jamu  kudu laos yang seolah-olah berjiwa.   Melumatkan/MenghaluskanMelumatkan bahan baku berarti kita memperkecil ukuran bahan  baku, sehingga kandungan yang ada dalam bahan baku dapat bekerja lebih maksimal.  Jamu pun akan lebih bermanfaat. Tidak ada standar atau ukuran tertentu yang  menuntun seorang pembuat jamu agar menghentikan proses penghalusan bahan. Untuk  mencapai suatu titik pelumatan tertentu, seringkali dilakukan berdasarkan  perasaan dan pengalaman.   Menempatkan JamuMenempatkan jamu dan memberi label/etiket pada jamu merupakan  suatu seni tersendiri. Wadah yang bersih serta bentuk yang "menarik" akan  memberi kesan tersendiri, baik bagi si pembuat maupun bagi pengguna/konsumen  jamu. Bentuk dan bahan wadah yang telah dikenal secara tradisional dapat  memberikan sentuhan tradisi yang lebih mendalam. Misalnya, jamu disimpan dalam  wadah yang terbuat dari tanah liat dengan bentuk tradisional. Demikian juga  label/etiket pada kemasan jamu. Jika dipasang dengan proporsi yang benar akan  mempunyai nilai estetika yang tinggi.   Meracik Jamu dari Beberapa Etnis di IndonesiaIndonesia terdiri dari beberapa suku (etnis). Masing-masing  suku mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Demikian juga dengan meracik jamu.  Berikut ini disampaikan metode meracik jamu dari beberapa etnis di Indonesia,  yaitu dari Tonsea Minahasa, Bali, Jawa, Madura, dan Maluku.   Etnis Tonsea Minahasa (Sulawesi)4Jenis-jenis sediaan obat tradisional di Tonsea diracik dengan  cara yang sangat sederhana, yaitu berupa ramuan segar daun, tanaman obat yang  dikeringkan, bentuk rebusan, dan obat tradisional untuk mandi. Tetapi, yang  menarik dari etnis Tonsea Minahasa adalah adanya bentuk sediaan yang unik, yaitu  "preparat asap" dan "preparat uap". Tetapi, yang perlu dipikirkan adalah apakah  "preparat asap" atau "preparat uap" ini benar-benar rasional, efektif, dan aman.  Beberapa bahan obat tradisional yang telah terbukti berkhasiat, ternyata juga  dipakai sebagai obat tradisional di Tonsea, misalnya temulawak ("tumbulawa),  kunyit ("kuni"), daun tapak kuda (to'dong noat"), kumis kucing ("makumi  nemeong"), kencur ("sukur"), daun sirih ("douna"), buah pinang ("mbua"), pare  ("paria"), pala, cengkeh, jahe ("sedep"), kucai ("dansuna kayu"), bawang putih  ("dansuna puti"), dan terong (poki-poki). Beberapa tanaman obat yang sering  digunakan sebagai ramuan obat tradisional di Tonsea dan mungkin juga spesifik  bagi daerah ini adalah "kaseta" (Jatropha curcas, jarak pagar), "se se wanua"  (Clerodendron serratum), "kayu lawang", "reramdam", "dudi", "tulis wene"  (geloba, amomum album), "karimenga" (goringo" Menado), dan "tere". Kebenaran  khasiat tanaman ini perlu dilakukan penelitian farmakologinya, mengingat belum  banyak literatur yang memberikan penjelasan tentang jenis tanaman obat tersebut.   Etnis Bali5,6Upaya pengobatan tidak lepas dari kepercayaan dan pemahaman  masyarakat terhadap penyebab penyakit. Pada umumnya, masyarakat di Bali percaya  bahwa penyakit disebabkan oleh dua factor, yaitu faktorsekala (penyakit  yang tampak, nyata, dan berujud, misalnya luka kena pisau, dipukul, pilek, dan  sebagainya) serta faktor niskala (penyakit  yang tidak tampak, tidak nyata, dan tanpa sebab yang pasti, misalnya gila,  bengkak tanpa sebab, pingsan mendadak, dan sebagainya). Bila menderita suatu  penyakit, masyarakat Bali berupaya mencari penyebab dan upaya penyembuhan.  Biasanya langsung pergi ke RS/Dokter, baru kemudian diikuti secara tradisional,  misalnya ke dukun atau ke suatu tempat dimana mereka kena musibah, kemudian di  sana "nglempana, ngulap ambe".  Bagi para dukun yang agak moderen pemikirannya, akan mengkombinasikan pengobatan  tradisional dengan pengobatan moderen. Upaya pengobatan tradisional dan ramuan  obat seperti tertulis dalam berbagai rontal antara lain Rontal-rontal Mpu Lutuk,  Prembon Banten, dan Yajnaprakiti yang merupakan koleksi Kesari Sanggraha. Tidak jauh berbeda dengan etnis Tonsea, ramuan tradisional di  Bali diracik dengan cara yang sederhana pula, misalnya tanaman/bagian tanaman  obat diiris-iris tipis, kemudian ditempelkan di tempat yang sakit (contoh:  bawang putih dan mentimun). Selain itu, ramuan digiling halus, kemudian ditempel  di tempat yang sakit atau diaduk dalam air mendidih, direbus, diperas, bahkan  ada beberapa tanaman obat yang dikonsumsi sebagai lalapan. Tanaman-tanaman obat  yang digunakan oleh masyarakat Bali tidak banyak berbeda dengan yang digunakan  oleh etnis Jawa seperti jahe, kunyit, sirih, pinang muda, asam kawak, dan masih  banyak lagi yang lainnya.   Etnis Jawa7,8Tidak berbeda dengan etnis-etnis yang lain di Indonesia,  meramu jamu sampai pada pengolahan jamu umumnya dilakukan oleh "dukun". Hal ini  terjadi sebelum kebudayaan Barat masuk ke Indonesia. Pada waktu itu, profesi  "dukun" mendapat tempat terhormat di masyarakat, bahkan boleh dikatakan menjadi  tumpuan harapan bagi masyarakat. Cara yang dilakukan oleh masing-masing dukun  berbeda-beda, ada yang dengan mantra, sesaji, atau dengan menggunakan ramuan  obat. Ilmu tentang ramuan pada umumnya bersumber pada ilmu semu (signature)  atau lengkapnya disebut Doctrine  Signature. (De geschiedenis der volken. Dr. C.L.v.d.Burg.). Dalam buku  tersebut, disebutkan bahwa nenek moyang kita dahulu pada umumnya sangat percaya  bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah berkenan memberikan tanda-tanda pada tiap-tiap  tanaman berupa wujud atau warna tertentu yang mirip (menyerupai) dengan bagian  tubuh penderita yang akan diobati. Contohnya, kalau ada penderita sakit kuning  (ikterus), para dukun akan memberi umbi temulawak (Curcuma xanthorrhiza)  sebagai bahan pokoknya, karena umbi temulawak tersebut warnanya kuning.  Sedangkan jika "dukun" mengobati penyakit yang ada hubungannya dengan darah,  misalnya luka, ibu-ibu yang baru melahirkan dan pada masa haid, biasanya  menggunakan kunyit (Curcuma domestica), karena jika dipotong warna kunyit  seperti merah. Apalagi jika ditambah dengan kapur sirih, warnanya akan menjadi  merah darah. Kebiasaan minum jamu bagi masyarakat Jawa berlaku bagi semua  golongan usia. Mulai dari anak-anak, mereka sudah dibiasakan minum jamu,  misalnya jamu penyegar (sinom atau kunyit asam). Bagi remaja putrid, sejak  mengalami menstruasi, dianjurkan untuk minum jamu galian putri setelah haid  secara rutin. Setelah menginjak dewasa dan akan melangsungkan pernikahan, bagi  remaja putri perlu dilakukan persiapan, mulai dari merawat tubuh dengan  menggunakan lulur dan bedak dingin agar kulit menjadi halus serta wajah  berseri-seri. Jamu-jamu yang diminum ditujukan agar tubuh harum dan tidak  berkeringat. Selain itu, juga minum jamu rapet agar tidak terjadi keputihan dan  lendir di liang vagina tidak banyak. Setelah berumah tangga, wanita selalu  berupaya untuk minum jamu sebagai perawatan sehari-hari, serta untuk memberikan  pelayanan yang baik dalam hubungan suami isteri. Dua kali setiap minggu (hari  Senin dan Kamis) ibu-ibu minum jamu galian rapet. Kebiasaan minum jamu juga  dilakukan untuk menjarangkan kehamilan, atau perawatan mulai dari kehamilan  sampai kelahiran. Cara meracik yang dilakukan oleh etnis Jawa juga tidak jauh  berbeda dengan etnis-etnis yang lain, yaitu dengan cara dipipis, diperas,  ataupun direbus/digodok.   Etnis Madura8Kebiasaan minum jamu ibu-ibu Madura dimaksudkan untuk menjaga  kesehatan mereka. Begitu melekatnya kebiasaan minum ini sehingga seorang ibu  mengatakan lebih baik tidak makan daripada tidak minum jamu. Jamu tersebut  dibeli di toko-toko jamu yang siap diminum berupa pil atau seduhan dalam bentuk  kemasan untuk diminum di rumah atau diminum di tempat pembelian. Menurut mereka,  wanita Madura dan orang Madura pada umumnya lebih menyukai minum jamu berupa  seduhan yang diminum bersama-sama dengan seluruh serbuknya karena lebih terasa,  baik rasa maupun baunya. Dikatakan pula bahwa khasiatnya lebih nyata daripada  minum jamu berupa pil atau serbuk. Cara minum jamu juga ada aturan tertentu. Pada waktu minum  jamu, sebaiknya dilakukan dengan cara berdiri, berbeda dengan minum biasa yang  dilakukan sambil duduk. Cara ini sebagian masih dipraktikkan meskipun tidak  diketahui maksud dari cara tersebut. Demikian juga dalam menambahkan campuran  jamu. Campuran jamu yang spesifik di Madura adalah cuka. Cuka yang digunakan  adalah cuka hasil olahan darilegen yang  diperoleh dari pohon enau. Legen disimpan selama minimal satu minggu dan sudah  siap sebagai cuka untuk campuran jamu. Sebagian besar ibu-ibu selalu meracik jamu dengan cara  merebus rempah-rempah yang diperoleh dari halaman ataupun membeli di pasar bagi  yang tidak mempunyai TOGA atau sayang untuk mengambil TOGA di halaman.   Etnis Maluku9,10Sejak abad ke-15, Ambon terkenal sebagai pusat perdagangan  rempah, meskipun penghasil rempah umumnya diperoleh dari daerah Maluku dan  sekitarnya. Kekayaan alam ini telah menarik perhatian bangsa lain. Salah satunya  adalah George Everhard Rumphius yang kemudian mengunjungi Ambon, dan selanjutnya  menulis buku "Herbarium Amboinense" pada abad ke-17. Buku ini memuat berbagai  berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh di daerah Ambon dan Maluku, termasuk  tumbuhan rempah, obat, dan sebagainya. Tumbuhan obat merupakan bahan utama dalam pengobatan  tradisional yang telah digunakan sejak lama oleh masyarakat Ambon. Setiap  daerah/suku bangsa tertentu, seperti suku Ambon, mempunyai upaya kesehatan yang  sudah menyatu dengan kebudayaannya. Ditinjau dari aspek pengetahuan tentang  pengobatan tradisional, suku Ambon merupakan masyarakat yang mampu menolong  dirinya dan keluarganya dengan pengobatan tradisional. Cara pengobatan yang dilakukan oleh etnis Maluku ada  bermacam-macam, baik tunggal maupun gabungan tindakan pengobatan. Misalnya,  gabungan akupresur; pijat refleksi telapak kaki dan urut (Ambon); urut (Ambon,  Suli, Telaga kodok, Liang, Mamala, Haruku); disembur; dikop (Ambon);  dijilat/disedot/diisap (Ambon); dimandikan dengan ramuan obat; serta menyiram  kepala dengan ramuan obat (Amahusu). Tetapi, sebagian besar cara pengobatan  tersebut menggunakan ramuan obat. Ramuan tradisional etnis Maluku disajikan dengan cara dimakan  segar (misalnya daun kaki kuda), dimakan mentah/digosok ke seluruh tubuh  (misalnya bawang merah), dikukus setengah matang kemudian dimakan (misalnya  beluntas), direbus kemudian airnya diminum (misalnya belalang babiji/meniran),  daun diremas kemudian ditempel di luka (misalnya turi), serta dikonsumsi dengan  cara ditumbuk, kemudian ditambah air hangat, diperas, kemudian airnya diminum.   KesimpulanDari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam meracik  jamu secara tradisional, tidak dapat dipungkiri adanya unsur seni yang  mengiringi pengetahuan dan ketrampilan yang terus berkembang sesuai dengan  perkembangan zaman. Unsur seni merupakan bagian dari tradisi yang telah melekat  di masyarakat setempat. Kehadiran unsur seni memperkuat dan mempererat ikatan  antara jamu dengan penggunanya, yang di sisi lain akan meningkatkan khasiat dan  manfaat yang dirasakan pengguna jamu. Tanpa seni, jamu hanyalah alat yang  digunakan untuk tujuan tertentu. Dengan adanya seni telah menimbulkan ikatan  emosi yang menjadi pengikat antara masyarakat dengan penerimaan keberadaan jamu.   Daftar Pustaka
  |   
>>> Daftar Jamu Godog Kendhil Kencana

Tidak ada komentar:
Posting Komentar