PULIH MARI BALI WUTUH PURNA WALUYA JATI Hampir sebagian besar ibu rumah tangga di Dusun Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, DI Yogyakarta, berprofesi sebagai pedagang jamu. Pada tahun 2001 ibu-ibu penjual jamu di kawasan tersebut masih menjajakan jamu dengan berjalan kaki, menempuh perjalanan 5-8 kilometer. Saat ini hampir semuanya menggunakan sepeda onthel. Sepintas Dusun Kiringan tak beda dengan dusun sekitarnya yang ada di kawasan Desa Canden, Kecamatan Jetis, Bantul, Yogyakarta. Sebuah kawasan pedesaan yang kental dengan nuansa pertanian. Hamparan sawah yang nyaris mengepung areal dusun ini menjadi penyangga utama perekonomian mereka. Namun, jika ditelisik lebih jauh ada yang unik di sini yang tak dimiliki dusun lainnya. Keunikan yang kasat mata, dusun ini sejak lama menjadi pusat jamu gendong. Sedangkan keunikan yang tak kasat mata adalah pola hidup, atau lebih populernya disebut gaya hidup, warga dusun ini yang lebih berorientasi alam. Pembuatan jamu tradisional di dusun ini sudah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Secara turun-temurun, “ilmu” jamu itu terwariskan secara alami, tanpa dorongan yang bersifat formal. “Saya sendiri tak ingat sejak kapan warga di sini membuat jamu. Seingat saya, sejak saya kecil di sini sudah ada jamu,” kata Ny. Sudiyatmi (50), yang sudah 21 tahun menjabat sebagai Kepala Dusun Kiringan. Ada sekitar 115 kepala keluarga (KK), khususnya para ibu-ibu, yang saat ini menggeluti pembuatan jamu. Penduduk Dusun Kiringan sendiri saat ini berjumlah sekitar 250-an kepala keluarga. Selain membuat, mereka juga mengonsumsi sendiri. Bahkan, hampir semua para ibu-ibu di dusun ini mampu meracik jamu sendiri. Ada puluhan jenis jamu yang mereka buat, antara lain beras kencur, uyup-uyup, kunir asem, dan cabe puyang. Bahan-bahan pembuatan jamu semuanya herbal, di antaranya ada kencur, jahe, sunti, empon-empon, kunyit, temu ireng, dan temu lawak. Bahan-bahan tersebut selain mereka budidayakan sendiri, ada juga yang dibeli dari pasar. Aktivitas membuat jamu diawali pada pagi hari setelah subuh. Pagi sekitar pukul 08.00 mereka mulai memasarkan ke luar dusun dari pintu ke pintu. Pulang ke rumah kadang hingga petang. “Kalau belum habis, ya, belum pulang. Soalnya jamu kan kalau tersisa harus dibuang,” kata Ponijah (46), yang wilayah pasarnya di kawasan Desa Sumbermulyo, sekitar 6 kilometer dari rumahnya. (Singgir Kartono) Jamu Tradisional Kiringan Suasana di dusun Kiringan, Canden, Jetis, Bantul tak beda dengan desa-desa lainnya di wilayah Bantul. Yang membuatnya beda dengan desa yang lainnya di daerah Bantul adalah sebagian besar dari ibu rumah tangganya berprofesi sebagai penjual jamu. Seratus lima belas dari dua ratus lima puluh tiga ibu rumah tangga di dusun Kiringan ini menopang kehidupan perekonomian keluarga dengan berjualan jamu. Salah satunya adalah suwarni, dia berjualan jamu sudah sejak tahun 1974. Resep jamu ia peroleh dari nenek moyangnya secara turun temurun. Suwarni memulai aktivitasnya menumbuk rempah-rempah bahan jamu sejak pukul 3 dini hari. Rempah-rempah yang telah direbus pada sore sebelumnya antara lain adalah kunir putih, pace, cabe jawa, kayu manis dan beberapa rempah-rempah yang lainnya. Sebelum menjajakan jamunya ke berbagai daerah di bantul, suwarni mempersiapkan segala sesuatunya seperti menaruh bahan racikan jamu ke dalam panci, menuangkan jamu yang telah jadi ke dalam botol yang telah tersedia. Tepat pukul 8 pagi wanita yang pernah memenangkan lomba meracik jamu se-DIY pada tahun 2004 ini telah siap berangkat untuk menjajakan jamu dengan onthelnya, menempuh jarak kiloanmeter di daerah imogiri dan sekitarnya. Sedikitnya ada 10 jenis jamu yang ia jajakan, dari cabe puyang, beras kencur, kunyit asam, hingga uyub-uyub. Cara penyajian jamunyapun tergolong unik, karena disajikan dalam sebuah cawan yang terbuat dari tempurung kelapa, atau yang sering disebut cawik. Tempurung kelapanya sendiri diyakini dapat menambah khasiat jamu itu sendiri karena mengandung karbon yang berguna untuk kesehatan tubuh. Selain itu penyajiannya jamu ini diracik ditempat, di depan para pelanggannya, sehingga pelanggannya dapat mengetahui secara langsung apa saja racikan jamunya, serta dapat memilih sendiri racikan jamunya sesuai keinginannya sendiri. Ditengah maraknya jamu-jamu dan obat-obat buatan pabrik, dusun kiringan masih mempertahankan pembuatan jamunya secara tradisional. Begitu juga dengan para pelanggannya, mereka masih memberikan perhatian pada jamu tradisional kiringan ini. Pelanggan jamu tradisional kiringan ini dating dari berbagai kalangan. Dari anak kecil hingga orang tua, ibu rumah tangga, orang yang sibuk, hingga ibu menyusui. Jamu yang sering diminati oleh para pelanggannya adalah uyub-uyub, rata-rata pembelinya adalah para ibu-ibu yang menyusui karena uyub-uyub ini berkhasiat untuk memperlancar asi. Tidak jarang dari para pembelinya memanfaatkan jamu tradisional ini sebagai pengobatan alternative penyakitnya. Karena jamu tradisional ini dianggap lebih aman daripada obat-obat buatan pabrik. Selain sebagai pengobatan secara tradisional, jamu tradisional ini digunakan untuk meningkatkan stamina atau hanya sekedar menjaga kesehatan tubuh. Awalnya warga kiringan yang berjualan jamu tidak banyak sekarang, namun sejak gempa 26 mei 2006 silam menyebabkan para lelaki kehilangan pekerjaannnya. Kesulitan ekonomi pasca gempa menyebabkan para kaum perempuan ikut terjun mencari nafkah untuk menopang ekonomi keluarga. Semenjak itu mulai banyak warga kiringan yang menjual jamu. Untukmengatur agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat maka sejak 7 januari 2007 para penjual jamu telah bernaung dalam koperasi Seruni Putih didampingi yayasan Mitra Pranata Yogyakarta. Kegiatan koperasi itu sendiri adalah mengatur area menjual jamu dan harga jamu per cawan yaitu seribu rupiah. Selain itu juga simpan pinjam modal untuk mengembangkan usaha. Koperasi yang beranggotakan 121 orang ini juga mengelola usaha jamu instan yang diproduksi secara berkelompok oleh warga. Kisah Perempuan BantulSubuh baru saja berlalu. Sekitar seratus perempuan siap mengayuh sepedanya keluar dari Dusun Kiringan, Canden, Bantul, Yogyakarta, untuk menjajakan jamu jauh di luar dusun. Ketika roda-roda sepeda itu berputar, berputar pulalah perekonomian di dusun yang luluh lantak akibat gempa tahun 2006. Perempuan-perempuan penjual jamu itu kini menjadi tulang punggung keluarga. Gempa tidak hanya menghancurkan rumah dan merenggut nyawa banyak orang, tetapi juga membuat banyak laki-laki di dusun itu menganggur cukup lama. Sebulan setelah gempa, sebagian kaum laki-laki di dusun itu baru mendapat pekerjaan serabutan sebagai buruh bangunan atau tani. Sudiyatmi, perempuan Kepala Dusun Kiringan, mengatakan, penghasilan para suami sebagai buruh paling banyak Rp 30.000 per hari. Upah itu jauh dari cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga dan memperbaiki rumah yang rusak. Karena itu, kaum perempuan di dusun ini akhirnya turun tangan mencari nafkah. Sebagian besar dengan berjualan jamu. Profesi penjual jamu sebenarnya telah dilakoni warga Kiringan sejak lama. Sudiyatmi tidak tahu persisnya kapan, mungkin sudah puluhan tahun. ”Kami memperoleh pengetahuan membuat jamu turun-temurun dari embahnya si embah,” kata dia. Setelah gempa, lanjut Sudiyatmi, semakin banyak perempuan terjun menjual jamu. Sekarang tercatat 107 dari 253 ibu rumah tangga di Kiringan berjualan jamu. Mereka terkoordinasi di bawah Koperasi Seruni Putih pimpinan Umi Muslimah. Umi, lulusan sekolah pendidikan guru yang juga berjualan jamu ini, mengatakan, penghasilannya sehari Rp 25.000-Rp 100.000. Penghasilan penjual jamu lainnya lebih kurang sama. Umi mengatakan, dengan berjualan jamu, perempuan-perempuan di Kiringan bisa membantu keuangan keluarga. ”Kami bisa membayar uang sekolah anak, menabung, dan sedikit-sedikit memperbaiki rumah yang rusak akibat gempa,” ujar Umi yang suaminya hanya buruh pabrik dengan penghasilan kurang dari Rp 700.000 per bulan. Lebih sejahtera Sebelum gempa, penjual jamu dari Kiringan tidak sebanyak itu. Tetapi, kesulitan hidup yang menerpa pascagempa mendorong perempuan di dusun itu untuk mencari nafkah. Sudiyatmi mengakui, rumah tangga yang perempuannya berjualan jamu umumnya lebih sejahtera secara ekonomi. Rumah mereka pun lebih bagus. ”Itulah yang mendorong banyak orang berjualan jamu,” kata dia. Lepas pukul 06.00 hingga tengah hari, dusun itu sepi dari kaum perempuan. Umumnya mereka berada di daerah ”operasi” yang jaraknya berkilo-kilometer dari rumah. Koperasi antara lain mengatur harga jamu per cawan dan daerah operasi penjual jamu, sesuai kesepakatan bersama antaranggota Koperasi Seruni Putih. Mereka juga menetapkan harga jamu, yakni Rp 1.000 per cawan, agar tidak ada aksi banting harga yang merusak persaingan. Umi setiap hari bangun pukul 03.00 untuk mengolah rempah-rempah menjadi jamu. Pukul 06.00, dia mengayuh sepedanya menuju dusun-dusun di Bantul yang menjadi daerah operasinya, menempuh lebih dari 10 kilometer tiap hari untuk menjajakan jamu. Sepulang berjualan jamu, dia masih harus mengurus kedua anak dan suami. ”Capai sih, tetapi saya melakoni dengan senang hati demi keluarga,” ujar Umi pendek. Tulang punggung Seperti di Kiringan, kaum perempuan di kampung Pucung, Dusun Karangasem, Imogiri, Bantul, juga menjadi penyelamat ekonomi keluarga. Pascagempa 2006, kampung yang menjadi sentra kerajinan wayang itu rontok. Riadi, perajin wayang, mengatakan, banyak barang yang siap diekspor ke luar negeri hancur. Dalam waktu bersamaan, pesanan dari luar negeri terhenti. ”Belum semua usaha pembuatan wayang di sini pulih,” kata dia. Kaum perempuan di kampung itu lalu turun tangan dengan membuat cenderamata, seperti gantungan kunci, pensil hias, dan wayang mini. Tidak disangka, ternyata barang-barang kecil itu laku. Supraptiningsih di Pucung mengatakan, dia bisa menjual puluhan ribu potong cenderamata ke sejumlah daerah, seperti Bali, Jakarta, dan Palembang. Omzetnya mencapai Rp 20 juta dalam setahun dengan keuntungan bersih 20 persen. Prapti, begitu dia biasa dipanggil, mengatakan, penghasilan sebagian ibu dari penjualan suvenir bahkan lebih besar dari penghasilan suami mereka. ”Sekarang kaum laki-laki tidak bisa mengklaim sebagai tulang punggung keluarga sebab kami juga menjadi tulang punggung,” katanya. Kaum perempuan yang memiliki penghasilan sendiri, lan- jut Prapti, sekarang mulai menjadi sandaran suami. ”Kalau mereka tidak punya uang untuk modal, kami meminjami uang. Tetapi, harus dikembalikan,” katanya. Prapti yang kini aktif di Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Cabang Bantul mengatakan, ibu-ibu di kampungnya pun bisa memenuhi kebutuhan pribadi dengan uang sendiri. ”Kalau sekadar ingin beli baju di Ambarukmo Plaza kami tidak perlu lagi menunggu uang bulanan dari suami,” ujar Prapti, menyebut pusat perbelanjaan yang kini dianggap paling bergengsi di Yogyakarta. Bersama ibu-ibu lain, Prapti tengah berpikir mengembangkan pasar dan mendirikan koperasi. Dia juga mendorong agar usaha kaum perempuan dipisahkan dari usaha suami. Dia telah mencoba dan berhasil. ”Kalau tidak dipisahkan, nanti tidak kelihatan untungnya. Bagaimanapun ini adalah usaha terpisah,” ujar Prapti. |
>>> Daftar Jamu Godog Kendhil Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar