Primum non nocere nocere injure harm hurt Primum non nocere is a Latin phrase that means "First, do no harm". The phrase is sometimes recorded as primum nil nocere. Nonmaleficence, which derives from the maxim, is one of the principal precepts of medical ethics that all medical students are taught in medical school and is a fundamental principle for emergency medical services around the world. Another way to state it is that "given an existing problem, it may be better not to do something, or even to do nothing, than to risk causing more harm than good." It reminds the physician and other health care providers that they must consider the possible harm that any intervention might do. It is invoked when debating the use of an intervention that carries an obvious risk of harm but a less certain chance of benefit. Origin The origin of the phrase is uncertain. The Hippocratic Oath includes the promise "to abstain from doing harm" (Greek: ἐπὶ δηλήσει δὲ καὶ ἀδικίῃ εἴρξειν) but does not include the precise phrase. Perhaps the closest approximation in the Hippocratic Corpus is in Epidemics: "The physician must...have two special objects in view with regard to disease, namely, to do good or to do no harm" (Bk. I, Sect. 11, trans. Adams, Greek: ἀσκέειν, περὶ τὰ νουσήματα, δύο, ὠφελέειν, ἢ μὴ βλάπτειν) (Avoir, dans les maladies, deux choses en vue : être utile ou du moins ne pas nuire.). The physician must be able to tell the antecedents, know the present, and foretell the future- must mediate these things, and have two special objects in view with regard to disease, namely, to do good or to do no harm. According to Gonzalo Herranz, Professor of Medical Ethics at the University of Navarre, Primum non nocere was introduced into American and British medical culture by Worthington Hooker in his 1847 book, Physician and Patient. Hooker attributed it to the Parisian pathologist and clinician Auguste François Chomel (1788–1858), the successor of Läennec in the chair of medical pathology, and the preceptor of Pierre Louis. Apparently, the axiom was part of Chomel's oral teaching. However, close examination reveals that Hooker did not use the specific expression or the traditional Latin phrase. A detailed investigation of the origins of the aphorism was reported by the clinical pharmacologist Cedric M. Smith in the April 2005 issue of the Journal of Clinical Pharmacology. It addresses the questions of the origin and chronology of appearance of the maxim. Rather than being of ancient origin as usually assumed, the specific expression, and its even more distinctive associated Latin phrase, has been traced back to an attribution to Thomas Sydenham (1624–1689) in a book by Thomas Inman (1860). The book by Inman, and his attribution, was reviewed by "H.H." in the American Journal of Medical Science in the same year. A prominent American surgeon, L.A. Stimson, used the expression in 1879 and again in 1906 (in the same journal). That it was in common use by the turn of the century is apparent from later mentions, such as by the prominent obstetrician J. Whitridge Williams in 1911, as well as detailed discussion of its use in a popular book authored by Dr. Morris Fishbein, the long-time editor of the Journal of the American Medical Association in 1930. The article also reviews the various uses of the now popular aphorism, its limitations as a moral injunction, as well as the increasing frequency of its use not only in medical but other contexts as well. Values in medical ethics
Values such as these do not give answers as to how to handle a particular situation, but provide a useful framework for understanding conflicts. When moral values are in conflict, the result may be an ethical dilemma or crisis. Sometimes, no good solution to a dilemma in medical ethics exists, and occasionally, the values of the medical community (i.e., the hospital and its staff) conflict with the values of the individual patient, family, or larger non-medical community. Conflicts can also arise between health care providers, or among family members. Some argue for example, that the principles of autonomy and beneficence clash when patients refuse blood transfusions, considering them life-saving; and truth-telling was not emphasized to a large extent before the HIV era. Primum Non Nocere Di kalangan profesional medis, selalu didengungkan diktum dari Hippocrates (kira-kira 460-377 SM) yang menjadi prinsip pertama dunia medis, primum non nocere. Slogan berbahasa latin ini kurang lebih dapat diartikan sebagai ”Yang terpenting adalah tidak merugikan” dalam setiap aspeknya, baik secara sosial maupun ekonomis. Dalam hal ini profesional medis dituntut untuk menempatkan kepentingan pasien di atas kepentingan yang lain-lainnya. Prinsip ini sering disandingkan dengan motto ”Salus aegroti suprema lex.” yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. Interaksi profesional medis dengan pelanggannya menuntut kepercayaan dan kesetiaan yang tidak dapat ditawar lagi. Sehingga muncul satu slogan lain yang relevan dalam hal ini berupa ”Uberrima fides” yang berarti kesetiaan diatas segala-galanya. Uberrima fides (sometimes seen in its genitive form uberrimae fidei) is a Latin phrase meaning "utmost good faith" (literally, "most abundant faith"). It is the name of a legal doctrine which governs insurance contracts. This means that all parties to an insurance contract must deal in good faith, making a full declaration of all material facts in the insurance proposal. This contrasts with the legal doctrine caveat emptor (let the buyer beware). Uberrimae fidei is the motto of Lloyd's of London. http://en.wikipedia.org/wiki/Uberrima_fides Dalam diktum ”Primum non nocere” terkandung tiga implikasi yang antara satu dengan yang lainnya saling menjalin menjadi satu mata rantai yang tak terpisahkan.
Kata kuncinya dalam hal ini adalah kendali mutu. Dalam konteks layanan rumah sakit misalnya, proses kendali mutu dituntut untuk sudah harus melibatkan pelanggan. Model proses tertutup rapat yang menempatkan pelanggan dalam posisi gelap tidak tahu apa-apa sudah tidak jamannya lagi. Pelanggan sekarang ini bukan lagi pasien yang orang Jawa bilang “pasrah bongkokan” atau “pejah gesang monggo kemawon,” pasif menerima saja apa pun perlakuan dari penyedia layanan. Makin kritisnya pelanggan nampak dari orientasi mereka dalam mencari ’value’. Value di sini dimaksudkan sebagai ’fungsi’ dari hasil pemeriksaan dan atau perawatan medis beserta jajaran pendukungnya (medical output) serta layanan yang mereka terima dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung. Kesemua bersifat subyektif, berdasarkan persepsi masing-masing orang. Mahal bagi seseorang bisa berarti murah bagi yang lain. Aspek layanan sendiri mengacu kepada proses yang kompleks. Francis W. Body dalam Journal of American Medical Association menyatakan bahwa hubungan antara profesional medis dan pelanggannya harus terbentuk secara personal dengan memperhatikan aspek waktu, simpati, dan saling pengertian. Kualitas esensial yang tidak boleh ketinggalan adalah kepedulian yang berperikemanusiaan. Kepedulian yang membuat pelanggan merasa diperlakukan secara manusiawi. Value ini menjadi parameter dalam memilih penyedia layanan, manakah yang dipersepsikan sebagai penyedia layanan yang berkualitas dan sesuai dengan kemampuan pelanggan untuk membayarnya. Persepsi terhadap kualitas ini didapatkan berdasarkan informasi dan pengalaman yang mereka miliki. Informasi betapa mudahnya menyebar dalam iklim keterbukaan seperti sekarang ini. Lagipula, bukankah dalam era ini pelanggan memiliki peran yang tidak lagi tunggal? Pasien misalnya tidak hanya berperan sebagai pemberi umpan dengan menceritakan kondisi yang dihadapi ketika bertemu dengan dokter. Pasien berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas terkait dengan apa yang menjadi kepentingannya. Pelanggan harus mendapat kejelasan informasi tentang prosedur yang harus diikutinya sehingga mereka dapat memutuskan sendiri tindakan yang akan diambil, sesuai hak asasinya. Bilamana perlu, pelanggan berhak mengambil opini lain sebagai alternatif (second opinion). Kejelasan informasi tersebut penting bagi pelanggan dalam mempertimbangkan rasio antara keuntungan dan resiko yang akan dihadapainya. Tidak jarang, adanya kesalahan, infeksi, dan terpaparnya resiko terjadi karena antara profesional medis dan pelanggan terjadi masalah komunikasi. Perbedaan bahasa menjadi salah satu kendalanya, disamping keengganan sebagian pelanggan untuk proaktif dan kecenderungan sebagian profesional yang mengejar target. Padahal, membodohi pasien adalah tindakan ilegal karena sudah menjadi tugas profesional medis untuk mendidik pelanggannya secara pelan tapi pasti. Pelanggan yang kurang dilibatkan dan kurang mendapatkan informasi yang cukup cenderung kurang mendapatkan perlakuan yang efektif. Sebagai akibatnya pelanggan kurang mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah seperti resiko timbulnya alergi, infeksi, kecelakaan, atau bahkan kematian. Sehingga jika terjadi masalah selama ini praktisinya yang dipersalahkan. Padahal seringkali sistemlah yang seringkali membuat semua ini terjadi, termasuk di dalamnya budaya organisasi. Untuk itu, pengkambinghitaman tentu bukan tindakan yang bijaksana dan tidak menyelesaikan permasalahan. Yang lebih diperlukan adalah desain ulang sistem lama menjadi sistem baru yang lebih baik dengan budaya organisasi yang lebih kondusif. Dengan demikian, sebenarnya setiap pihak mempunyai porsi tanggung jawab dalam mendukung keselamatan pasien. Profesional medis tidak akan sanggup menanggungnya sendirian, dan mereka memang tidak dalam posisi sebagai pemegang otoritas tunggal. Tidak heran jika sekarang ini suara pelanggan juga mempunyai kekuatan tersendiri dalam kaitannya dengan regulasi, baik melalui asosiasi maupun perwakilan di lembaga legislatif karena sangat terkait dengan kepentingannya. Selain peran-peran yang sudah disebutkan di atas pelanggan juga mempunyai peran sebagai agen dalam penyebaran informasi dari mulut ke mulut (words of mouth) yang efektif. Peran terakhir ini menjadi semakin strategis jika dikaitkan dengan ketatnya regulasi dalam iklan komersial industri medis. Untuk meningkatkan keselamatan pasien pada khususnya dan kualitas layanan pada umumnya, modernisasi peralatan memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah menyediakan layanan yang prima. Layanan yang layaknya diberikan kepada orang yang kita cintai seperti misalnya ibu kita sendiri. Di kalangan ahli bioetika prinsip layanan seperti ini dikenal sebagai Papworth Principle.
Primum non nocere Primum non nocere adalah ungkapan bahasa latin yang artinya "First, do no harm", pertama, jangan merugikan. Sebelum kita bahas, ada baiknya saya luruskan bahwa kata ini bukanlah berasal dari sumpah Hippocrates seperti yang banyak ditulis orang. Bagian kalimat sumpah Hippocrates yang mirip itu mungkin adalah sbb: I consider for the benefit of my patient and abstain from whatever is harmful or mischievous. I will neither prescribe nor administer a lethal dose of medicine to any patient even if asked nor counsel any such thing. Tetapi frase itu memang berasal dari tulisan Hippocrates, dalam Epidemics, Buku 1, bab XI yang berbunyi: "Declare the past, diagnose the present, foretell the future; practice these acts. As to diseases, make a habit of two things — to help, or at least to do no harm." Terjemahan yang lebih kontekstual adalah, jika menemui masalah, mungkin lebih baik tidak berbuat apa-apa dari berbuat sesuatu yang mempunyai resiko yang lebih merugikan dari pada kebaikan. The physician must be able to tell the antecedents, know the present, and foretell the future- must mediate these things, and have two special objects in view with regard to disease, namely, to do good or to do no harm.On Epidemics (Hippocrates) Book One Section Two Part 4 Prinsip ini sebenarnya berlaku untuk seluruh lapangan kehidupan, namun inilah prinsip fundamental yang diajarkan ke setiap mahasiswa kedokteran, ketika melakukan pelayanan medis dimanapun. Prinsip ini mengajarkan pada dokter, atau siapapun pelayanan kesehatan: bahwa mereka harus memikirkan kemungkinan merugikan dari tindakan yang akan dilakukan, bahwa kita mungkin harus menghindari tindakan medis yang mempunyai resiko jelas dengan manfaat yang kurang jelas. Dalam kaitan ini saya ingin meningatkan apa yang dikatakan prof Iwan Darmansyah, guru besar Farmakologi FKUI, bahwa …menganggap bahwa "bila tidak berefek tentunya tidak berbahaya" tidaklah benar. Pedoman bukanlah suatu aturan yang kaku; pertimbangan ilmiah harus selalu merupakan petunjuk akhir, terutama pada keadaan klinik yang kompleks. Dalam praktek sehari-hari kita sering melakukannya. Kepada orang yang datang ke tempat praktek kita, kita selalu memberikan pelayanan ”lebih”: hanya perlu obat panas, kita berikan obat panas plus ephedrine, plus dextromethorphan. Tidak perlu antibiotik, kita resepkan 2 macam antibiotik. Mengapa: siapa tau nantinya ditumpangi kuman. Di daerah kita sering mendengar juga layanan “plus”: pasien yang datang dengan adnexitis, radang saluran telur, dilakukan apendektomi sekaligus. Asumsinya: dari pada nanti jadi apendiksitis, lebih baik dibuang sekarang. Asumsi siapa tahu berlawanan dengan diktum ini: jangan lakukan tindakan yang manfaatnya kurang jelas, padahal resikonya jelas. Menurut AB Susanto, diktum Primum Non Nocere mempunyai implikasi sosial maupun ekonomis. Dalam hal ini profesional medis dituntut untuk menempatkan kepentingan pasien di atas kepentingan yang lain-lainnya. Prinsip ini sering disandingkan dengan motto ”Salus aegroti suprema lex.” yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. Interaksi profesional medis dengan pelanggannya menuntut kepercayaan dan kesetiaan yang tidak dapat ditawar lagi. Implikasi ekonomis, berarti “cost” harus juga menjadi pertimbangan dalam memberikan pelayanan ke pasien. Pada pasien yang dirawat, kita tambahkan vitamin agar pasien lekas sembuh, padahal kita yakin pasien kita tidak kekurangan vitamin. Pada pasien kita berikan tindakan yang lebih ekstensif, padahal kita tahu tindakan biasa juga sudah cukup. Artinya primum non nocere juga berarti: jangan membebani pasien dengan biaya yang tidak perlu. Di dalam kepustakaan medis, penuh contoh dilemma menegakkan prinsip ini dalam berbagai masalah medis yang rumit. Misalnya berbagai kasus kembar siam, kasus penyakit kanker, atau yang dilemma secara etis: kehamilan yang tidak diingini. Dibiarkan maupun diambil tindakan mempunyai konsekwensi medis yang berat. Dalam kasus-kasus yang rumit ini, diskusi antar ahli, maupun antara dokter dengan pasien perlu dilakukan. Di tengah makin banyaknya tuntutan hukum atas pelayanan kesehatan yang padahal belum tentu malpraktis, transparansi penuh kepada pasien perlu di nomor satukan. Pasien sekarang tidak lagi pasif, menerima apapun kata dokter. Dalam kasus dilematis, pasien, ataupun keluarganya, perlu ditawarkan second opinion, dipersilakan mencari dokter lain, yang mungkin mempunyai pengetahuan, skill, ataupun ide yang lebih baik. Jadi prinsip primum nil nocere berarti 3 hal.
Ada baiknya para dokter kembali mengingat tugas utamanya, seperti yang dikatakan oleh dokter William Osler, salah satu the greatest Icon in Modern Medicine: One of the first duties of the physician is to educate masses not to take medicine... Terjemahan sederhananya: tugas pertama dokter adalah mendidik masyarakat agar tidak menggunakan obat. Dalam konteks yang luas: didiklah orang agar tidak menggunakan pelayanan kesehatan yang tidak perlu. |
>>> Daftar Jamu Godog Kendhil Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar